Summary :
“Mungkin
ada baiknya bahwa aku menghilang.” Matthew terdiam. Berusaha menanggapinya
dengan tenang. “Bagaimana denganku?”
Disclaimer :
Hidekazu Himaruya-sensei
Warning :
PruCan. AU. OOC.
OC (New Prussia). Sho-ai. Typo. And many more.
.
.
.
Pemuda itu hanya termangu menatap
piring kosong di depannya. Ini hari ketiganya berkunjung ke adik laki-laki
personifikasi Amerika. Tak jauh dari jangkauannya, satu botol sirup maple masih
tersegel rapih. Mirah delima di matanya sesekali melirik ke arah dapur, dimana
seorang pemuda lainnya sedang sibuk dengan adonan, penggorengan, dan sarapan
mereka. Sebuah senyum terlukis begitu rapih dan cerah di wajah pemilik saga
tadi. Pun begitu, perlahan memudar seiring fakta yang sudah sekian puluh tahun
dihadapinya.
Dia, bukanlah lagi satu kerajaan
yang disegani. Dia hanya sebuah memori.
West, begitu ia memanggil sang adik, sudah begitu damai. Karenanya,
walau ia berjanji bahwa ia akan selalu menjadi perisai sekaligus pedang
pelindung untuk adiknya, sang personifikasi negara perlahan memberikan
ruang-ruang tertentu; untuk dirinya dan sang adik. Faktanya, puing-puing
bagiannya, sang pemilik mirah delima, tersebar di dunia. Dan kini, ia sedang
berusaha mengumpulkannya. Mencoba agar orang tahu bahwa ia pernah berdiri.
Pernah menjadi satu kerajaan juga negara yang kuat, begitu disegani kekuatan
militernya, hingga Perang Dunia itu meletus. Kabar burung mengatakan bahwa itu
karena usia. Kerapuhan.
Ironis.
Sampai ia bertemu pemuda dengan
kacamata yang bertengger di hidung dengan celemek itu. Bukan peperangan lagi
yang menjadi bagian hidupnya. Juga bukan sikap barbarian serta ksatria yang
kini menaungi kehidupannya. Tetapi, perhatian serta kenangan. Senyum milik
pemuda itu yang membuatnya kali pertama jatuh, merasakan bahwa ia sudah dalam
keterpurukan yang begitu dalam.
Personifikasi tidak akan pernah
merasakan sakit.
Personifikasi tidak akan pernah
merasakan luka.
Namun, sebuah pengecualian jika
negara yang menjadi naungannya telah tiada.
Gilbert Beilschmidt,
personifikasi Prusia, kini berkabung dalam benaknya sendiri.
.
.
.
“Peace begins with a smile.”
–Mother Teresa.
.
.
.
“Gil?”
Mirah delima itu menatap sumber
suara. Seketika mendapati pemuda berkacamata itu di depannya dengan sepiring
penuh pancake. Di belakangnya, seorang anak kecil dengan mata biru nyaris ungu
dan rambut pirang platina—nyaris
putih, mengekor dengan senyum jenaka khas milik sang personifikasi Prusia.
Bagian negaranya, bagian dari Gilbert Beilschmidt, ada dan dirawat dengan baik
oleh Matthew, Kanada.
“Kau sakit, Gil?”
Gilbert memilih untuk bungkam.
“Paman Gilbert sakit?”
Pertanyaan dengan nada khawatir
milik Matthew disusul oleh celotehan anak kecil yang diyakini olehnya adalah
bagian Prusia yang ada di teritorial Kanada selama ini, New Prussia. Si kecil itu mulai kembali mengikuti tingkah Matthew.
Mulai dari duduk di seberang Gilbert, memiringkan kepalanya, memberikan air
muka panik dan khawatir, serta mengerjapkan mata dengan mimik yang membuat
Gilbert tersenyum tipis. Kanada sanggup merubah bagiannya dengan segala sikap
tenangnya.
“Makhluk paling awesome sepertiku tidak mungkin sakit.”
Matthew hanya tersenyum. Sedangkan
anak kecil yang terus-terusan membeo tingkah personifikasi Kanada itu bangkit.
Kali pertama Gilbert melihatnya jalan dengan begitu antusias, mengulurkan
tangannya, dan merengkuh Gilbert. Jari jemarinya saling dikaitkan dan wajahnya
disembunyikan di bahu Prusia. Dan respon yang diterima si kecil tentu pun tidak
terbayangkan oleh sang Beilschmidt. Reflek, ia percaya dengan hal itu; pemuda
itu balas memeluk si kecil. Mendekapnya erat sampai Matthew memecahkan
fokusnya.
“Ada yang mengganggu pikiranmu,
Gil?”
“Tidak. Tentu tidak.”
“Tapi, kau menangis, Gil.”
Sontak, jemarinya menyusuri
pipinya sendiri. Menyentuh rahangnya dan merasakan butir bening hangat yang
masih bisa dirasakannya disana. Mungkin, kabar burung itu benar adanya. Kini,
ia begitu rapuh.
.
.
.
Gilbert menyenderkan kepalanya
pada dinding. Sendu; nampaknya penggunaan kata itu tidak terdengar hiperbola
kini. Sang personifikasi merasakan bahwa ia sudah begitu jauh di belakang.
Negara lain sudah begitu maju di depannya; sudah begitu berkembang dari
berbagai aspek. Hanya ia sendiri yang masih memaksakan bertahan walau tahu
bahwa Rusia sudah menggempurnya. Mengumbar bahwa dengan dua kaki dan tangannya
sendiri, ia bisa membawa Prusia kembali tercetak dalam peta. Ia bisa
mengembalikan eksistensinya dulu. Perlahan, namun pasti.
Yang sayangnya, kini ia paham
bahwa realisasi akan hal itu nyaris mendekati kata mustahil.
Impiannya terlalu tinggi. Terlalu
muluk untuk diwujudkan. Bahkan dengan bantuan adiknya pun, ia tidak akan bisa
menjadikan nama Prusia kembali merebut atensi dunia. Atensi berubah menjadi
eksistensi semata; lalu menghilang seiring dengan bagian Prusia digerogoti
Rusia dan Polandia.
“Gilbert? Apa yang kau lakukan
disini?”
“Tidak ada.”
“Ayo, masuk.”
Diam. Tidak ada jawaban yang
dilontarkan oleh Gilbert. Ajakan Matthew hanya dianggap angin lalu.
“Gilbert? Kau sedang memikirkan
sesuatu?”
Pemilik mirah delima itu menoleh.
Sudut bibirnya tertarik dan menyisakan satu senyum yang begitu sedih di
wajahnya. Berkas-berkas rasa pedih masih tercetak jelas disana. Kekecewaan
sekaligus merasa terhina pun dapat Matthew lihat di raut wajah milik
personifikasi Prusia. Pemuda berkacamata itu lalu paham akan situasi. Depresi,
frustasi, tertekan, dan merasa terasingkan. Momen yang pernah dilewati juga
oleh Matthew Williams selaku personifikasi negara.
“Kau akan selalu menjadi bagian
penting dunia, Gilbert.”
Pemuda dengan rambut putih itu
masih memilih untuk mengunci mulutnya. Belum pernah ada tanggapan yang begitu dalam
ditujukan padanya. Hanya Ludwig, adik sekaligus personifikasi negara Jerman
yang memberikan dukungan moral seperti itu sejauh ini. Lalu kini, Matthew
menumpahkannya. Serta merta, tangan Gilbert kemudian terulur—menarik sang Kanada ke
dalam pelukannya.
“G-Gil?”
“Sebentar saja.”
“E-eh. T-tapi....”
Matthew baru akan membuka
suaranya lagi, sampai menyadari bahwa bahu personifikasi yang memeluknya
bergetar hebat. Gilbert Beilschmidt sekali lagi menangis. Meratapi semua hal
yang menimpa kerajaan sekaligus negaranya. Perang Dunia. Semua kawan dan lawan.
Semua yang ditinggalkan dan meninggalkan. Semua memori; kemenangan dan
kekalahan.
“K-kau mau aku menghubungi
Antonio dan Francis?”
Rambut putih itu bergesekan dengan
pirang milik Matthew. Penolakan tanpa suara. Penggunaan komunikasi non verbal.
Matthew hanya bisa makhfum. Tangannya bergerak naik. Mengusap punggung Beilschmidt.