-theycallmetheendofstories


The Owner

theycallmetheendofstory
Hanya seorang penulis yang merasa dan mengaku bahwa dirinya seorang Slytherin. Seratus persen berasal dari distrik Karier. Sering kali mengalami penyakit dengan judul writer's block dan mager. Seorang koleris-melankolis. Sick, biaswhore, bipolar—that's enough.
let's play! :)

Hwat? Mischief managed Nox!

Well?
Sejauh ini saya menyukai dunia baca dan tulis. Belum berani mengaplikasikan tulisan saya ke umum karena penyakit saya sendiri (all hail writer's block dan mager!). Bukan penulis yang baik, jadi maklumi saja jika ada alur atau diksi saya yang membuat kalian mual, muak, bahkan malas untuk membacanya lagi.
Oh wait, am I need some chatbox?

friends
your links go here,
tumblr

thanks
© * étoile filante
inspiration/colours: mintyapple
icons: me reference: x / x

past
July 2010
September 2010
October 2010
May 2012
June 2012
October 2012
title: “Peace begins with a smile.”
date: Monday, October 29, 2012
time:6:38 a.m.


Summary :
“Mungkin ada baiknya bahwa aku menghilang.” Matthew terdiam. Berusaha menanggapinya dengan tenang. “Bagaimana denganku?”

Disclaimer :
Hidekazu Himaruya-sensei

Warning :
PruCan. AU. OOC. OC (New Prussia). Sho-ai. Typo. And many more.
.

.

.

Pemuda itu hanya termangu menatap piring kosong di depannya. Ini hari ketiganya berkunjung ke adik laki-laki personifikasi Amerika. Tak jauh dari jangkauannya, satu botol sirup maple masih tersegel rapih. Mirah delima di matanya sesekali melirik ke arah dapur, dimana seorang pemuda lainnya sedang sibuk dengan adonan, penggorengan, dan sarapan mereka. Sebuah senyum terlukis begitu rapih dan cerah di wajah pemilik saga tadi. Pun begitu, perlahan memudar seiring fakta yang sudah sekian puluh tahun dihadapinya.

Dia, bukanlah lagi satu kerajaan yang disegani. Dia hanya sebuah memori.

West, begitu ia memanggil sang adik, sudah begitu damai. Karenanya, walau ia berjanji bahwa ia akan selalu menjadi perisai sekaligus pedang pelindung untuk adiknya, sang personifikasi negara perlahan memberikan ruang-ruang tertentu; untuk dirinya dan sang adik. Faktanya, puing-puing bagiannya, sang pemilik mirah delima, tersebar di dunia. Dan kini, ia sedang berusaha mengumpulkannya. Mencoba agar orang tahu bahwa ia pernah berdiri. Pernah menjadi satu kerajaan juga negara yang kuat, begitu disegani kekuatan militernya, hingga Perang Dunia itu meletus. Kabar burung mengatakan bahwa itu karena usia. Kerapuhan.

Ironis.

Sampai ia bertemu pemuda dengan kacamata yang bertengger di hidung dengan celemek itu. Bukan peperangan lagi yang menjadi bagian hidupnya. Juga bukan sikap barbarian serta ksatria yang kini menaungi kehidupannya. Tetapi, perhatian serta kenangan. Senyum milik pemuda itu yang membuatnya kali pertama jatuh, merasakan bahwa ia sudah dalam keterpurukan yang begitu dalam.

Personifikasi tidak akan pernah merasakan sakit.

Personifikasi tidak akan pernah merasakan luka.

Namun, sebuah pengecualian jika negara yang menjadi naungannya telah tiada.

Gilbert Beilschmidt, personifikasi Prusia, kini berkabung dalam benaknya sendiri.

.

.

.

“Peace begins with a smile.”
–Mother Teresa.

.

.

.

“Gil?”

Mirah delima itu menatap sumber suara. Seketika mendapati pemuda berkacamata itu di depannya dengan sepiring penuh pancake. Di belakangnya, seorang anak kecil dengan mata biru nyaris ungu dan rambut pirang platinanyaris putih, mengekor dengan senyum jenaka khas milik sang personifikasi Prusia. Bagian negaranya, bagian dari Gilbert Beilschmidt, ada dan dirawat dengan baik oleh Matthew, Kanada.

“Kau sakit, Gil?”

Gilbert memilih untuk bungkam.

“Paman Gilbert sakit?”

Pertanyaan dengan nada khawatir milik Matthew disusul oleh celotehan anak kecil yang diyakini olehnya adalah bagian Prusia yang ada di teritorial Kanada selama ini, New Prussia. Si kecil itu mulai kembali mengikuti tingkah Matthew. Mulai dari duduk di seberang Gilbert, memiringkan kepalanya, memberikan air muka panik dan khawatir, serta mengerjapkan mata dengan mimik yang membuat Gilbert tersenyum tipis. Kanada sanggup merubah bagiannya dengan segala sikap tenangnya.

“Makhluk paling awesome sepertiku tidak mungkin sakit.”

Matthew hanya tersenyum. Sedangkan anak kecil yang terus-terusan membeo tingkah personifikasi Kanada itu bangkit. Kali pertama Gilbert melihatnya jalan dengan begitu antusias, mengulurkan tangannya, dan merengkuh Gilbert. Jari jemarinya saling dikaitkan dan wajahnya disembunyikan di bahu Prusia. Dan respon yang diterima si kecil tentu pun tidak terbayangkan oleh sang Beilschmidt. Reflek, ia percaya dengan hal itu; pemuda itu balas memeluk si kecil. Mendekapnya erat sampai Matthew memecahkan fokusnya.

“Ada yang mengganggu pikiranmu, Gil?”

“Tidak. Tentu tidak.”

“Tapi, kau menangis, Gil.”

Sontak, jemarinya menyusuri pipinya sendiri. Menyentuh rahangnya dan merasakan butir bening hangat yang masih bisa dirasakannya disana. Mungkin, kabar burung itu benar adanya. Kini, ia begitu rapuh.

.

.

.

Gilbert menyenderkan kepalanya pada dinding. Sendu; nampaknya penggunaan kata itu tidak terdengar hiperbola kini. Sang personifikasi merasakan bahwa ia sudah begitu jauh di belakang. Negara lain sudah begitu maju di depannya; sudah begitu berkembang dari berbagai aspek. Hanya ia sendiri yang masih memaksakan bertahan walau tahu bahwa Rusia sudah menggempurnya. Mengumbar bahwa dengan dua kaki dan tangannya sendiri, ia bisa membawa Prusia kembali tercetak dalam peta. Ia bisa mengembalikan eksistensinya dulu. Perlahan, namun pasti.

Yang sayangnya, kini ia paham bahwa realisasi akan hal itu nyaris mendekati kata mustahil.

Impiannya terlalu tinggi. Terlalu muluk untuk diwujudkan. Bahkan dengan bantuan adiknya pun, ia tidak akan bisa menjadikan nama Prusia kembali merebut atensi dunia. Atensi berubah menjadi eksistensi semata; lalu menghilang seiring dengan bagian Prusia digerogoti Rusia dan Polandia.

“Gilbert? Apa yang kau lakukan disini?”

“Tidak ada.”

“Ayo, masuk.”

Diam. Tidak ada jawaban yang dilontarkan oleh Gilbert. Ajakan Matthew hanya dianggap angin lalu.

“Gilbert? Kau sedang memikirkan sesuatu?”

Pemilik mirah delima itu menoleh. Sudut bibirnya tertarik dan menyisakan satu senyum yang begitu sedih di wajahnya. Berkas-berkas rasa pedih masih tercetak jelas disana. Kekecewaan sekaligus merasa terhina pun dapat Matthew lihat di raut wajah milik personifikasi Prusia. Pemuda berkacamata itu lalu paham akan situasi. Depresi, frustasi, tertekan, dan merasa terasingkan. Momen yang pernah dilewati juga oleh Matthew Williams selaku personifikasi negara.

“Kau akan selalu menjadi bagian penting dunia, Gilbert.”

Pemuda dengan rambut putih itu masih memilih untuk mengunci mulutnya. Belum pernah ada tanggapan yang begitu dalam ditujukan padanya. Hanya Ludwig, adik sekaligus personifikasi negara Jerman yang memberikan dukungan moral seperti itu sejauh ini. Lalu kini, Matthew menumpahkannya. Serta merta, tangan Gilbert kemudian terulurmenarik sang Kanada ke dalam pelukannya.

“G-Gil?”

“Sebentar saja.”

“E-eh. T-tapi....”


Matthew baru akan membuka suaranya lagi, sampai menyadari bahwa bahu personifikasi yang memeluknya bergetar hebat. Gilbert Beilschmidt sekali lagi menangis. Meratapi semua hal yang menimpa kerajaan sekaligus negaranya. Perang Dunia. Semua kawan dan lawan. Semua yang ditinggalkan dan meninggalkan. Semua memori; kemenangan dan kekalahan.

“K-kau mau aku menghubungi Antonio dan Francis?”

Rambut putih itu bergesekan dengan pirang milik Matthew. Penolakan tanpa suara. Penggunaan komunikasi non verbal. Matthew hanya bisa makhfum. Tangannya bergerak naik. Mengusap punggung Beilschmidt.




comment? / top