-theycallmetheendofstories


The Owner

theycallmetheendofstory
Hanya seorang penulis yang merasa dan mengaku bahwa dirinya seorang Slytherin. Seratus persen berasal dari distrik Karier. Sering kali mengalami penyakit dengan judul writer's block dan mager. Seorang koleris-melankolis. Sick, biaswhore, bipolar—that's enough.
let's play! :)

Hwat? Mischief managed Nox!

Well?
Sejauh ini saya menyukai dunia baca dan tulis. Belum berani mengaplikasikan tulisan saya ke umum karena penyakit saya sendiri (all hail writer's block dan mager!). Bukan penulis yang baik, jadi maklumi saja jika ada alur atau diksi saya yang membuat kalian mual, muak, bahkan malas untuk membacanya lagi.
Oh wait, am I need some chatbox?

friends
your links go here,
tumblr

thanks
© * étoile filante
inspiration/colours: mintyapple
icons: me reference: x / x

past
July 2010
September 2010
October 2010
May 2012
June 2012
October 2012
title: Happy Birthday our BRANDFANY
date: Saturday, July 31, 2010
time:9:36 a.m.
Happy Birthday sweetheart,
all the best wishes for you




May each and every passing year bring you wisdom, peace and cheer :)


Labels: , ,



comment? / top


title: HAPPEE BIRTHDAY HJP & JKR
date:
time:7:57 a.m.





Happee Birthday Harry James Potter

Labels: , ,



comment? / top


title: After two generations? Oh Merlin!
date: Sunday, July 25, 2010
time:10:48 p.m.
After two generations. Oh Merlin!

Cast: Of course, Professor McGonagall, The Marauders and The Twins
(dan bala tentara mereka) *plak*
Disclaimer: Semua punya bunda Joanna :)
PS: Ini fanfiction. Semua bisa terjadi disini HAHAHAHAHAHA *tawa iblis*
Ini rada-rada dialogue-fic yaa. Dan fanfic yang ini emang engga lucu. Lagi kehabisa ide jayus untuk keenam tokoh sakit jiwa ini. Thank you~~


Pagi yang cerah dan sunyi. Awal pembelajaran memang sangat menyenangkan, tetapi nampaknya tidak untuk Prof. McGonagall. Dia terlihat cukup stress mengingat bahwa hari ini dia harus bertemu dengan 4 murid dari asramanya yang selalu, perlu diulangkah? SELALU membuatnya pusing tujuh keliling.

Pertama, James Potter. Semua mengenalnya. Siapa yang tak mengenal seorang James Potter? Seorang seeker, Gryffindor, tampan, berkacamata, dan.... salah satu dari empat sekawan yang menamakan diri mereka adalah The Marauders. Si perusuh hebat yang sudah satu tahun terakhir ini kehilangan rasa malu dan mungkin juga kewarasannya karena dengan terang-terangan mengejar seorang Lily Evans. Pernah sekali Professor McGonagall merasa ia harus cuti dari pekerjaannya karena tingkah James, yaitu membuat ramuan cinta untuk Lily yang akhirnya berujung dengan meledaknya sebagian ruang rekreasi Gryffindor. Ia salah memasukkan salah satu bahan yang menjadikan ramuan cinta itu menjadi ramuan bom atom.

Kedua, Sirius Black. Laki-laki ini tak jauh berbeda dengan sahabat karibnya, James Potter. Bahkan lebih tepatnya ia adalah copyan dari seorang James Potter. Ia sering sekali menjahili murid-murid dari asrama Slytherin sehingga kadang Professor Slughorn ingin sekali menangis melihat murid-murid di asramanya dikerjai habis-habisan oleh Black dan Potter. Pernah sekali James dan Black mengerjai seorang murid dari asrama Slytherin yang berakhir dengan detensi dua minggu penuh bersama Flich. Mereka berhasil membuat Snape memiliki badan sama besarnya dengan Troll dengan rambut panjang dan kulit berwarna hijau pucat yang membuatnya lebih seperti Buto Ijo, Troll versi Indonesia.

Ketiga, Peter Pettigrew. Sebenarnya dia anak baik dan penurut. Dia hanya sedikit "error" saja. Tak memberi banyak masalah, hanya saja kadang Professor McGonagall suka menghela napas karena satu kebiasaan Peter yang tak pernah bisa berubah. Tiada hari tanpa mengunyah. Sebagian besar makanan yang disediakan di meja Gryffindor di Aula besar selalu masuk di perutnya, dan menurutnya.... itu masih kurang.

Terakhir, Remus Lupin. Mungkin di antara empat sekawan yang suka menyebut diri mereka adalah The Marauders, Lupin-lah yang paling menenangkan jiwa dan pikirannya. Anak yang pintar, membanggakan, dan seorang Prefek. Remus sangat tenang dan menyenangkan. Dia belum pernah mendapatkan sesuatu yang jelek dari muridnya yang satu ini. Belum pernah, sampai sekarang. Mungkin.


*-*-*-*


The 1st Day



"Selamat pagi Professor McGonagall," sapa Lily Evans saat melintas di depan guru Transfigurasi itu. McGonagall tersenyum.
"Pagi Evans. Senang melihatmu." Belum sempat Lily menjawabnya lagi, terdengar teriakan dari jauh.
"Lilyyyyyyy!! Tunggu akuuuuu!!!"
McGonagall menoleh dan menghela napasnya begitu mengetahui pemilik suara itu.
"Maaf Professor, saya harus menemui Professor Slughorn. Permisi." Kemudian Lily Evans pergi dengan tergesa-gesa melihat James Potter berlari ke arahnya.
"Lily!!!!" James masih berusaha mengejar pujaan hatinya sebelum....
"Potter, 5 poin dikurangi dari Gryffindor karena berteriak-teriak di sepanjang koridor," ucap McGonagall. Ia rasakan kepalanya pusing setiap melihat salah satu dari The Marauders.
"Loh? Tapi professor, kok harus saya? Kan ada juga yang berteriak-teriak!," protes James.
"Siapa?"
"Errrr...."
"Hey Longbottom! Aku...." Belum sempat Petigrew menyelesaikan kalimatnya, James menunjuknya.
"Itu! Pete, professor! Dia tadi berteriak ke arah Longbottom!" Yang dituduh tersentak kaget dan menggeleng cepat.
McGonagall memegangi kepalanya, senut senut senut. Dirasakan stress menyerangnya lagi. Entah kenapa setiap berhadapan dengan Potter atau Black, ia selalu merasa ada beban berat menimpanya.
"Potter, ke ruanganku setelah semua pelajaran yang kau ambil hari ini selesai. Tidak ada alasan," ucap McGonagall kemudian meninggalkan Potter yang berdiri melongo menatap kepergian guru Transfigurasinya.

*-*-*-*



Tok... tok... tok...

"Masuklah Potter," ucap Professor McGonagall. Ia memijat-mijat kecil kepalanya.
"Permisi Professor," ucap James. Ternyata ia tak sendiri. Ya, seharusnya Professor McGonagall menduga ini. Pantas kepalanya terasa pusing sekali. Ada ketiga temannya di belakang.
"Kenapa kalian selalu berempat? Aduh..." Ia memegangi lagi kepalanya. Remus menatap guru Transfigurasinya dengan pandangan tak tega.
"Professor, anda baik-baik saja?," tanyanya. Professor McGonagall mendongak dan menatap keempat anak didiknya.
"Duduklah kalian."
Keempat pemuda Gryffindor itu duduk dengan tenang dan rapi. Tak seperti biasanya.
"Kalian mau cokelat? Atau teh?," tawar McGonagall.
"Professor, jika Anda ingin memberi saya detensi bersama si squi-eh-maksud saya bersama Tuan Flich, saya rela professor," ucap James. Ada nada sungguh-sungguh disana. Sepertinya keempat pemuda tadi merasa tak tega melihat guru kesayangan mereka berulang kali memijat kepalanya.
"Tidak Potter. Aku tak akan memberimu detensi bersama Flich. Aku tahu persis tak ada murid yang menyukainya," ucap McGonagall. Ia menghela napas sebentar kemudian menatap James, Sirius, Remus, dan Peter secara bergantian. Mereka begitu tenang saat ini. Seandainya saja mereka bisa seperti itu setiap saat, betapa bahagianya Professor McGonagall. Seandainya.
"Professor, anda jauh lebih menakutkan jika seperti ini. Saya lebih senang langsung mendapatkan detensi dari anda, Professor," ucap James. Professor McGonagall menatapnya lekat-lekat.
"Jika aku boleh jujur, Potter. Aku lelah dengan ulahmu dan ulah Black. Dan kau juga, Petigrew!"
"Bagaimana dengan Remus, Professor?," tanya Sirius. Ia memajukan bibirnya karena nama Lupin tak disebut. Yang tak disebut namanya hanya melirik sahabatnya yang sirik itu kemudian menatap guru Transfigurasinya.
"Aku punya permohonan untuk kalian berempat. Dan aku benar-benar memohon," tutur Professor McGonagall. Ia tampak sangat frustasi.
"Y-y-y-y-ya pr-pr-prof-professor?" Peter menatap takut-takut ke gurunya itu.
"Untuk Potter, tolong sebulan saja kau bersikap normal. Jangan berteriak-teriak seperti di koridor tadi pagi, jangan mengerjai guru-guru lain, dan murid dari asrama lain." James Potter menelan ludahnya. Se-se-sebulan? Dia harus bersikap tak wajar dalam sebulan? Ya. Diam untuk seorang Potter berarti sama saja menjejerkan dirinya sendiri dengan Snivellus Snape sialan itu.
"Dan untukmu, Black. Berhentilah mengerjai murid-murid Slytherin. DAN TENTUNYA MURID ASRAMA LAIN! Berkonsentrasilah dengan prestasimu, Black. Aku cukup pusing dengan nilai-nilaimu dan Potter!" McGonagall menatap dua pemuda itu dengan sengit. Tapi berusaha ia tahan amarahnya.
"Untukmu Peter, berhentilah menghabiskan jatah makanan untuk Gryffindor! Dan belajarlah dengan benar!"
Professor McGonagall menarik napas sejenak kemudian menatap Lupin. Pemuda itu terlihat begitu polos, dan satu yang menjadi pertanyaan Professor McGonagall jika melihatnya. Apakah Lupin sudah kehilangan kewarasannya sehingga ia berteman dengan dua perusuh Hogwarts dan si tambun Peter?
"Lupin...."
Begitu nama Remus disebut, ketiga temannya langsung tersenyum puas. Mereka mengira manusia serigala itu akan mendapatkan hukuman juga (yang menurut mereka lebih berat dibandingkan dengan detensi).
"Ya professor?," tanya Lupin tenang. Ia memang sudah terbiasa menerima hukuman tanpa sebab. Ia sering sekali dihukum oleh guru-guru hanya karena ia berteman dengan tiga bocah di sampingnya itu. Tetapi begitulah Lupin, ia tak mengeluh (di depan guru-guru). Namun jika tiga bocah itu kelewatan, Lupin tak segan-segan menghukum mereka juga.
"Kau.... tolong awasi teman-temanmu itu. Kau kuberi kebebasan untuk mentransfigurasi mereka jika mereka macam-macam." Dan sukseslah ketiga bocah itu melongo karena ucapan McGonagall tadi. Dan Lupin? Ia tersenyum dan mengangguk patuh. Pemuda itu melirik ketiga temannya, tercetak sebuah senyum penuh kemenangan di wajahnya.

*-*-*-*


Professor McGonagall menatap keempat muridnya. Lupin dengan tenang menikmati pai cheri di depan dengan sebuah buku di tangannya. Ia memang suka membaca, dimanapun dan kapanpun. Kemudian pandangannya beralih ke Peter Petigrew. Terlihat jelas pemuda itu menahan diri untuk tak menghabiskan makanan di meja. Guru Transfigurasi itu sempat tersenyum sebentar mendengar komentar Lily Evans.
"Kau sedang diet, Pete? Makanlah yang banyak. Aku tak biasa melihatmu makan sesedikit itu."
Professor McGonagall kemudian tersenyum kembali saat melihat dua perusuh itu tampak diam menikmati kudapan sore mereka. Tenang sekali rasanya Hogwarts tanpa ada ocehan kedua perusuh itu.
"Ada apa denganmu Potter? Evans mengacuhkanmu lagi huh? Kau memang pantas di acuhkan! Begitu pula denganmu darah pengkhianat!," ucap Malfoy saat melintasi James dan Sirius. Terlihat jelas bahwa Sirius mengepalkan tangannya, hendak menghajar Lucius dan teman-temannya tadi.
"Malfoy! Tiga puluh poin akan dikurangi dari Slytherin untuk kelakuanmu yang kurang sopan!," kata Professor McGonagall tiba-tiba. Seisi aula besar menoleh. Ada senyum puas di wajah James dan Sirius saat Lucius mendengar pernyataan kepala asrama Gryffindor tadi.

*-*-*-*


"Argh!! Masih berapa hari lagi sampai kita bisa bersikap normal?!," erang James saat malam harinya di ruang rekreasi Gryffindor.
"Well, masih ada satu minggu lagi Prongs. Bertahanlah." Remus berusaha menenangkan sahabatnya yang satu itu.
"Satu minggu?! Argh aku sudah sangat ingin menghajar Malfoy brengsek itu!!," lanjut Sirius. Tak kalah sengitnya dengan James.
"Aku sudah cukup kurus belum teman-teman? Aku rindu setengah lusin pai cheri dan permen-permen manis lainnya," keluh Peter dan disambut gelak tawa ketiga sahabatnya. Remus menatap ketiga sahabatnya. Dia benar-benar tak tega melihat mereka tersiksa seperti itu. Tapi menyenangkan juga, tak ada ribut-ribut di sepanjang koridor ataupun kelas. Hanya di ruang rekreasi. Cukup melegakan.
"James, bisa kita bicara sebentar?," tanya seorang gadis dari arah tangga kamar. The Marauders menoleh dan mendapati Lily Evans berdiri disana. James melongo karena kaget.
'Li-Lily? Dia memanggilku?,' pikir James. Ia segera bangkit dan mendekat ke arah Lily. Sebelum ia keluar ruang rekreasi bersama Lily, ia menoleh menatap sahabat-sahabatnya dan memberi pandangan wish-me-luck.
"Ada sisi positif dari hukuman ini bukan?," tanya Remus. Peter dan Sirius menoleh.
"Ya untuk Prongs! Dan tidak untukku, Mooney!!," bentak Sirius. Ia benar-benar kesal. Pemuda itu bangkit dan berjalan menuju kamar tidur. Rasanya dia akan meledak jika Remus mengeluarkan sepatah kata lagi. Lebih baik ia menenangkan dan mendinginkan kepalanya sebelum itu benar-benar terjadi.
"Bagaimana denganmu Pete? Ada dampak positifnya untukmu?," tanya Remus. Peter menoleh dan berusaha berpikir. Ya, yang dimaksud disini ia benar-benar berusaha untuk berpikir.
"Yah, setidaknya sekarang aku lebih ringan jika ingin melarikan diri dari Flich sialan itu," tutur Peter polos. Remus tertawa kecil mendengarnya.

*-*-*-*



Satu minggu kemudian

"Kulihat kalian benar-benar mengabulkan permohonanku, Potter, Black, Pettigrew, dan tentu kau... Lupin," ucap Professor McGonagall setelah The Marauders berkumpul di ruangannya.
"Anda tahu professor, apa saja untukmu. Hehehehe," tutur Pettigrew dan dia mendapat injakan kecil di kakinya yang dilakukan oleh James dan Sirius.
"Aw!," rintihnya. McGonagall tersenyum melihat mereka.
"Well, mulai besok kalian sudah boleh bersikap seperti biasa. Tapi ingat! Untukmu Potter! Jangan berteriak-teriak di koridor! Untukmu Black, bersikaplah seperti remaja normal. Jangan terlalu jahil! Pettigrew, jangan sampai aku mendapatimu menghabiskan jatah teman-teman se-asramamu!," kata McGonagall galak. Remus tersenyum mendengarnya.
"Professor, aku yang jahil adalah aku yang normal. Jika aku terus bersikap seperti kemarin, aku yakin ratusan gadis di Hogwarts lebih nekat daripada akhir-akhir ini," keluh Sirius dan disambut tawa ketiga sahabatnya. Mereka tahu benar bahwa sebulan ini Sirius dikirimi beratus-ratus cokelat, roti, pai, bunga, dan segala macamnya yang memiliki ramuan dan mantra cinta yang cukup kuat. Perlu buktinya? Minggu lalu Longbottom nyaris saja jadi korbannya karena ia yang menjadi 'burung hantu' untuk pesan-pesan itu. Begitu pula Weasley dan Spinnet.
"Terima kasih untukmu Remus," ucap McGonagall sembari menatap murid kesayangannya itu.
"Aku tidak melakukan apa-apa Professor. Teman-temanku lah yang seharusnya diberi penghargaan karena mampu melakukan tugasmu, dan seharusnya aku berterima kasih kepada Anda, Professor McGonagall. Hidupku tenang sekali selama sebulan ini. Tak ada keributan di koridor, tak ada keributan di kelas, dan tentu saja.... tak ada detensi," jawab Remus. Ia memang terlihat sangat senang karena peristiwa sebulan ini.
"Apa kau bilang Moony?," tanya James dengan pandangan akan-kuhabisi-kau-nanti.
"Tidak ada apa-apa James," jawab Lupin dengan polos. McGonagall tersenyum. Dia merindukan ocehan dua murid Gryffindor itu. Tak tahu kapan ia akan mendengar mereka bertengkar tidak penting seperti ini lagi, mengingat tahun depan adalah tahun terakhir mereka berempat.

*-*-*-*



Sembilan hingga sepuluh tahun kemudian

McGonagall masih setengah tak percaya mendengar kepergian Lily Evans dan James Potter yang begitu tragis. Sangat tragis. Killing curse yang dilontarkan oleh salah satu muridnya juga. Tom Riddle. Murid kesayangan Slughorn, seorang murid jenius yang tak pernah ia sangka akan menjadi sosok yang begitu gelap.
Guru Transfigurasi itu menghapus butiran air matanya dan segera mentransfigurasi dirinya menjadi seekor kucing dan pergi ke rumah itu. Ke rumah dimana anak kedua murid kesayangannya akan ditinggalkan. Rumah seorang muggle.
Setelah kedatangan Dumbledore dan meninggalkan Harry Potter, McGonagall kembali ke Hogwarts. Masa kelam itu sudah lewat, tak baik mengingatnya.

*-*-*-*



"Fred Weasley!," panggil topi tua itu. McGonagall memperhatikan anak laki-laki kecil itu. Ia tersenyum kecil saat mendengar Gryffindor diucapkan oleh topi itu. Begitu pula untuk kembarannya, George Weasley. Another Weasley di Gryffindor. Dia merasa lega, karena selama ini belum pernah ada keluarga Weasley yang membuatnya stress ataupun pusing seperti yang dilakukan The Marauders dulu. Wanita tua itu tersenyum sedih jika mengingat keempat murid kesayangannya. Kadang ia masih memikirkan mengapa harus James yang terbunuh. Mengapa Black harus terperangkap di Azkaban. Mengapa Pettigrew hilang dan hanya ada jarinya saja yang tersisa. Dan Lupin yang menghilang tanpa jejak.
Ia menghela napas sejenak kemudian tersenyum menatap si kembar di Gryffindor. Sepertinya akan menyenangkan.


*-*-*-*



Terulang lagi. McGonagall kembali memijat-mijat kecil kepalanya melihat kelakuan The 2nd generation of The Marauders. Ya, siapa lagi kalau bukan si kembar Weasley.
"Weasley! Ke ruanganku sekarang!," ucap wanita itu kemudian berjalan menuju ruangannya diikuti oleh dua muridnya. McGonagall menyuruh salah satu mereka menutup pintu ruangannya dan mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Ya professor?," ucap mereka bersamaan.
"Apa lagi kali ini?," tanya kepala asrama Gryffindor itu dengan pasrah. Rasa-rasanya ia memang perlu mengambil cuti karena ulah duo Weasley ini.
"Kami tak melakukan apa-apa," jawab George.
"Hanya saja kami ingin tahu," lanjut Fred. McGonagall mengernyitkan keningnya.
"Ingin tahu tentang?"
"Apakah benar--," ucap George kemudian dilanjutkan oleh saudaranya.
"--bahwa rambut professor Snape--"
"--benar-benar asli dan alami--"
"--karena rambut professor Snape--"
"--begitu halus--"
"--indah--"
"--dan keren--"
"--tapi menurut kami--"
"--ia terlalu banyak--"
"Menggunakan minyak rambut," ucap keduanya bersamaan kemudian Keduanya tersenyum. Detik itu juga McGonagall terperangah. Ya, generasi kedua dari James Potter dan Sirius Black telah datang ke Hogwarts dan siap-siap membuatnya stress lagi seperti dahulu.

*-*-*-*


"Apa lagi kali ini Weasley?" Sudah ribuan kali kalimat itu terlontar sejak tahun kemarin.
"Kami hanya menaruh cokelat, Professor," kata George. Ia menatap anak laki-laki di sampingnya.
"Cokelat kodok--," tutur Fred dengan wajah tak berdosa. Kemudian dilanjutkan oleh kembarannya.
"--yang enak dan lezat--"
"--sebagai hadiah--"
"--untuk tuan Flich--"
"--karena--"
"--telah membantu kami," ucap Fred dan George polos. Guru transfigurasi mereka membetulkan letak kacamatanya dan meminum air dari gelasnya.
"Kalian bukannya memberikan cokelat kodok, tapi kodok coklat. Kodok nyata, Weasley! Aku tak bisa ditipu." Ia meraih gelasnya lagi kemudian menatap isinya. Sebuah senyum menghiasi wajahnya. Ya, dia merindukan masa-masa seperti ini.

*-*-*-*


"Professor! Tolong George, professor!," ucap Fred cemas. Dia menggendong kembarannya di punggungnya dan menggedor-gedor ruangan McGonagall. Wanita tua itu membuka pintu ruangannya dan terkejut melihat muridnya berdiri disana.
"Ada apa Fred?," tanya McGonagall panik.
"Aku tak tahu professor. Badannya panas sekali. Mungkin ia flu karena badai saat Quiddicth kemarin. Tolong professor!!" Fred menatap McGonagall dengan tampang yang benar-benar memohon.
"Kita bawa ke Hospital Wings, Fred."
McGonagall menatap dua Weasley yang berjalan di sampingnya. Benar-benar mengingatkannya dengan James dan Sirius. Sirius akan selalu kalang kabut bila James sakit, begitu pula sebaliknya.
"Dia tak apa-apa. Hanya demam biasa. Biarkan ia semalam disini, Minerva," ucap Madam Pomfrey. Professor McGonagall tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke dua muridnya. Fred duduk di samping tempat tidur George. Ia tampak sangat cemas. Wanita itu mendekatinya dan menepuk pundaknya.
"Tak apa-apa, Fred. Dia hanya demam biasa. Kembalilah ke kamarmu," ucap wanita itu. Fred hanya menggeleng pelan.
"Aku akan ada disini sampai George sembuh. Maaf telah merepotkan Anda, professor. Dan terima kasih," ucapnya.
"Sudah menjadi tugasku Weasley." Ia tersenyum menatap dua anak laki-laki itu kemudian berjalan menuju pintu.
"Errr-professor!," panggil Fred. McGonagall menoleh dan tersenyum.
"Tolong jangan ceritakan hal ini ke siapapun. Termasuk ke adik kami, Ronald," ucap anak laki-laki itu dan disertai anggukan oleh guru transfigurasinya.

*-*-*-*



McGonagall berkeliling Hogwarts mencari duo perusuh itu. Di tangannya ia memegang sebuah badge dengan tulisan "Potter Bau". Yang satu ini benar-benar kelewatan.
"Weasley!! Ke ruanganku sekarang!!," teriak wanita itu begitu menemukan duo perusuh itu sedang berusaha menghindarinya.
"Baik professor," ucap keduanya bersamaan dan berjalan lesu mengikuti kepala asrama mereka. Ronald hanya tertawa senang melihat kakak kembarnya mengalami siksaan itu. Tapi tawanya segera berhenti begitu ia mendapati Fred dan George menatapnya dengan pandangan kau-cari-mati-adik-kecil.
"Jelaskan padaku tentang ini!," kata McGonagall sembari menunjukkan badge kuning dengan tulisan "Potter Bau".
"Itu apa, professor?," tanya keduanya polos. McGonagall menghela napas.
"Ini badge, kalau kalian tak tahu apa ini."
"Oh! Badge--"
"--berwarna kuning--"
"--yang indah--"
McGonagall menghela napas panjang lagi.
"Aku minta berhentilah berjualan barang seperti ini, Weasley."
Fred menatap George, begitu pula George. Kemudian mereka menatap guru kesayangan mereka.
"Maafkan kami professor," tutur mereka bersamaan. McGonagall mendongak dan tersenyum tipis.
"Aku terima maaf kalian, tapi tetap aku harus menulis surat untuk orang tua kalian," terang wanita itu. O-rang tu-a?!
"Errr professor, bisakah Anda mengirimkannya untuk Dad saja?," pinta George.
"Ya, errr- mum sedang sibuk," lanjut kembarannya.
"Sibuk?," tanya wanita di hadapan mereka dengan pandangan tak percaya. Sibuk bagaimana? Kemarin ia bertemu Molly Weasley saat pertandingan Naga itu berlangsung. Dia datang menjenguk Ginny Weasley. adik dari dua bersaudara ini.
"Ya! Errr- Mum sibuk..." George melirik kembarannya.
"Sibuk menanam jagung dan arisan professor! Maka dari itu mum tidak bisa diganggu!," kata Fred kemudian duo perusuh itu tersenyum manis.
"Well, sayang sekali Weasley. Ayah kalian sudah memintaku jika ingin mengirimkan laporan tentang anaknya, lebih baik melapor saja pada ibu kalian," terang McGonagall dan disambut ekspresi shock dari dua pemuda di depannya. Bisa dibayangkan Mum mereka datang atau menyiapkan surat sama seperti yang diterima adik mereka, Ronald Weasley pada saat kelas dua.

*-*-*-*


McGonagall kali ini tersenyum melihat tingkah duo weasley itu. Kejahilan mereka kali ini tak membuat seorang Minerva McGonagall jengkel ataupun stress, tapi cukup menghibur wanita itu. McGonagall masih hapal betul ekpresi si ko-eh-maksudku Professor Umbridge ketika si kembar mengerjainya. Tahun terakhir, dan sekali lagi McGonagall akan kehilangan orang yang bisa membuatnya pusing tujuh keliling (selain trio Gryffindor dan The Marauders).

Tok, tok, tok

Pintu ruangan wanita itu diketuk. Ia tersenyum begitu mendapati siapa yang berdiri di depan sana.
"Selamat ulang tahun, Professor!," tutur duo Weasley itu sembari membawa sebuah bungkusan cukup besar untuk professor kesayangan mereka.
"Terima kasih, Fred dan George. Ini.... benar-benar hadiah? Bukan..." Belum sempat guru Transfigurasi Hogwarts itu menyelesaikan kalimatnya, si kembar buru-buru menjawab.
"Kami tak akan tega!"
McGonagall tersenyum melihat mereka.

*-*-*-*



Sekali lagi, McGonagall berusaha menyembunyikan tangisnya. Fred Weasley dan Remus Lupin pergi untuk selamanya dalam Perang besar kedua kemarin. Hatinya masih terasa sakit harus kehilangan murid-murid kesayangannya. Tapi ada kelegaan, Voldemort sudah tiada. Dia tewas di tangan murid McGonagall dan horcruxnya sendiri, Harry Potter.
Besok Fred akan dimakamkan. McGonagall dapat melihat adanya kehilangan dari George. Tak ada lagi yang bisa menjadi perusuh di Hogwarts dan di Weasley. Kini George berdiri sendiri. Hanya ada Angelina di sampingnya, memeluknya. Berusaha menegarkan pria itu. McGonagall tersenyum sedih saat George menghampirinya dan mengatakan, "Ketakutanku menjadi nyata Professor. Sebagian jiwaku hilang."
Masih terukir jelas di pikiran McGonagall saat tahun lalu ia mendapat undangan khusus dalam pembukaan toko si kembar. Masih terukir jelas di benaknya saat Fred mengetuk pintunya, meminta tolong padanya saat George sakit. Masih sangat terukir jelas.
Tapi kini ia harus bisa menatap ke depan. Semua masa gelap itu benar-benar sudah berakhir, Voldemort sudah tiada dan para Death Eater pun sudah menerima ganjarannya.

*-*-*-*



McGonagall menatap tak percaya saat dia melihat dua sosok muridnya berdiri di depannya.
"James Potter?.....dan.. Fred Weasley?," ucapnya.
"Ya professor?," jawab mereka bersamaan. Di saat itu McGonagall tersenyum pasrah kemudian berkata dalam hatinya.
"Generasi ketiga? Oh Merlin, tidak lagi."

*-F.I.N-*

Labels: , , , , , , , , , , , , , ,



comment? / top


title: {Fan Fiction} A Short Journey
date: Thursday, July 15, 2010
time:6:22 a.m.
Short Journey // T // On Writing (Maybe 3 Shoots, tiap shoot terdiri dari tiga atau empat chapter.)
Setting: Tahun ke 6
Language: Indonesia
All character of Harry Potter adalah milik bunda Jo (J.K Rowling). Kecuali Joanna Westwick (Gryffindor), Zizella Lestrange, Arabella West (Slytherrin), Isabelle Rockwell (Ravenclaw), Laurelynn Chamberlain (Gryffindor), Charlotte Kim, dan Alexander Jung (Hufflepuff)
PS: Mungkin bakal OOC dikit yaa. Sedikit sekali CANON-nya. Dan tolong jangan bingung karena saya sering menggunakan nama kecil dan nama keluarga (ex: Draco, kemudian tiba-tiba saya menyebutnya Malfoy. Dan Hermione, kemudian tiba-tiba menjadi Granger), hehe~






Muka tirus dan rambut peraknya tertutupi jubah. Sesekali ia menoleh ke sekelilingnya. Semenjak kematian Sirius, semenjak menjadi pelahap maut, rasa takut selalu menyelimutinya. Bibir pucatnya mengucapkan sebuah mantra kemudian ia menghilang.

First shoot: He's a Malfoy

'Hermione!,' teriak seorang laki - laki dari asrama putra Gryffindor. Gadis dengan rambut panjang bergelombang menoleh dan tampak tak senang melihat laki-laki itu.
'Jika kau mau meminta maaf karena telah mencontek tugas -err maksudku menyalin ulang- tugas dari profesor Burbage dan menghilangkan perkamenku, aku tak menerima maafmu' Ia berlalu dari pandangan Ron, laki-laki tadi. Ron menghela napas kecil kemudian masuk lagi ke dalam asrama. Hari ini adalah hari libur, sebagian besar anak Hogwarth pulang dan sisanya memutuskan untuk melewati musim dingin di Hogwarth dengan dalih mengambil kelas musim dingin. Dan lima belas penghuni asrama Gryffindor, yang dimana Harry Potter, Fred Weasley dan kembarannya George, kemudian Ron Weasley, Hermione Granger, Ginny Weasley, Neville Longbottom, dan Dean Thomas masuk di dalamnya.
Gadis itu berjalan menyusuri lorong-lorong Hogwarts. Pagi tadi profesor Slughorn memintanya untuk mencarikan sebuah buku di perpustakaan. Udara dingin menusuk kulitnya. Ia merapatkan jaket dan syalnya.
"Bahkan udara di Hogwarts sedingin ini," gumamnya. Kemudian tanpa sengaja ia menangkap sesosok laki-laki berjalan dengan langkah cepat. Seperti tak mau diikuti.
"Apa yang ia lakukan? Kupikir ia pulang untuk menikmati musim dinginnya," gumam Hermione kemudian ia berjalan lagi ke perpustakaan.
Rak demi rak ia telusuri. 'Hmm kupikir aku akan menemukannya di rak buku Herbologi. Tapi tak ada.' pikir Hermione. Gadis itu terus menelusuri rak demi rak sampai ia terdiam karena menangkap sosok laki-laki yang tadi sempat ia lihat di lorong. Rambut keperakan laki-laki itu sedikit berantakan. Hermione menatapnya sejenak kemudian berlalu, ia lebih memilih untuk menemukan buku yang diminta tolong Slughorn dibandingkan menatap pangeran Slytherrin itu lama-lama.
'Tak biasanya kulihat dia di perpustakaan. Apa yang ia lakukan disini?' pikir gadis Gryffindor itu. Sesekali ia menatap Draco yang duduk di pojok ruangan. Ia perhatikan buku yang Draco baca.
'Mengapa Muggleborn Dipertanyakan' gumam Hermione. 'Untuk apa Malfoy membaca buku itu?'
Ia memperhatikan laki-laki itu, kemudian menarik kursi di depannya dan mengambil buku di dekatnya. Hermione membuka lembaran buku itu untuk menutupi tindakannya. Memperhatikan pangeran Slytherrin itu.
Ternyata yang diperhatikan merasa kemudian menatap balik ke gadis Gryffindor itu. Bisa ia lihat Hermione salah tingkah saat tertangkap basah sedang menatapnya. Draco tersenyum tipis, menutup buku yang ia pegang dan pergi.
'Kemana dia pergi?' gumam Hermione setelah menyadari bahwa Draco tak di tempatnya lagi.
'Mencariku mudblood?' bisik seseorang dari arah belakangnya. Ia terlonjak kaget dan berbalik.
'Jangan memanggilku dengan panggilan seperti itu!' Hermione mendengus kesal dan hendak pergi dari tempat itu, tapi tangannya ditarik oleh Draco.
'Lepaskan aku Malfoy!," ucap Hermione tegas. Ia menunduk. Entah kenapa kali ini ia tak berani membalas tatapan Draco.
'Mud - err maksudku Granger - yeah Granger. Aku....' belum sempat Draco menyelesaikan kalimatnya, Arabella West, teman satu asrama Draco datang menghampiri mereka.
'Apa yang kalian lakukan disini?' tanya West, ia menatap Hermione tajam.
'Draco, Prof Snape mencarimu. Ayo pergi' West menarik tangan Draco dan mereka pergi dari tempat itu. Hermione menatap kepergian mereka. Kebahagiaan yang ia rasakan sesaat tadi hilang saat melihat kedua Slytherrin itu bergandengan tangan.
'Oh yea aku lupa dia seorang Slytherin.' Granger mendekati bangku dimana Malfoy duduk tadi. Sebuah buku lusuh yang ia cari sejak tadi ada disana. Ia menatap buku itu kemudian menatap bangku kosong itu. Menghela napas sejenak dan meninggalkan perpustakaan dengan buku lusuh itu di tangannya.

***


Lorong Hogwarts dingin dan sepi. Sesekali gadis Gryffindor itu menoleh ke belakang. Dia merasa seseorang sedang mengikutinya.
'Harry, berhenti mengikutiku,' ucap Hermione sembari menatap satu sudut di lorong itu. Kemudian terlihat seseorang disana sembari memegang sebuah jubah.
'Bagaimana kau tahu, Hermione?'
'Oh tolonglah- aku sudah berteman denganmu dari tahun pertama, Harry James Potter'
'Ok. Tenanglah Hermione. Aku hanya khawatir denganmu. Akhir-akhir ini kau-errr-sangat aneh. Tak seperti Hermione yang aku dan Ron kenal'
Hermione menatap Harry sebentar kemudian menghela napas.
'Kau tak akan mengerti Harry.'
'Aku mengerti Hermione. Kau lupa dulu aku menyukai seorang Cho?'
'Ini beda. Kau tahu, yang aku kagumi seorang Slytherin, Harry. Sudahlah. Aku mau menemui Profesor Slughorn dulu.' Hermione berlari meninggalkan Harry.
Setelah menyerahkan buku yang dicari Slughorn, gadis Gryffindor itu berlari kecil menuju asramanya. Tak diperhatikannya raut wajah yang menunjukkan kebingungan di wajah teman-teman Gryffindornya. Ia segera memasuki kamarnya dan mendapati teman sekamarnya sedang duduk membaca sebuah buku.
'Joanna, buku apa yang sedang kau baca?,' tanya Hermione. Gadis yang ia tanyai menoleh dan menjawab, 'The Tales Of Beedle The Bard. Hanya buku cerita. Ada apa Hermione? Kenapa napasmu memburu seperti itu?'
'Ah-eh-aku tak apa. Hanya melepaskan pikiran yang menggangguku sembari berlari tadi.'
'Benarkah? Ada masalah apa?,' tanya Joanna. Ia membetulkan posisi duduknya, menghadap Hermione.
'Err-tak apa-apa.'
Joanna tersenyum dan mengangguk pertanda mengerti. Hermione berputar dan...
'HAI GRANGER!,' sapa seseorang tepat di depannya.
'DEMI JENGGOT MERLIN! Laurelynn! Bisakah kau tak mengejutkanku?!,' bentak Hermione. Yang dibentak hanya terkekeh-kekeh kemudian menatap serius ke arah Hermione.
'Itu artinya kau sedang tidak dalam kondisi "tak apa-apa". Paham?'
Hermione menatapnya kemudian mengerling ke arah Joanna. Ia menatap ke sekelilingnya kemudian menghela napas panjang.
'Baiklah, aku memang ada apa-apa. Aku tak baik-baik saja,' ucap Hermione lirih. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur kemudian menatap Joanna dan Laurelynn.
'Ada apa sebenarnya?,' tanya Joanna. Ia menutup buku di tangannya dan menatap Hermione dengan serius.
'Apa aku terlihat tak apa-apa jika aku menyukai seorang Slytherrin? Terlebih seorang Malfoy,' ucap Hermione lirih. Ia menghela napas kemudian menatap dua temannya dan tersenyum sedih.
'Oh hai Harry! Ada kepentingan apa kau datang kemari?,' ucap Laurelynn sembari melambaikan tangannya ke arah pintu. Hermione menoleh dan terlonjak kaget mendapati dua sahabatnya berdiri disana dengan ekspresi tak percaya. Gadis itu yakin Harry & Ron sudah mendengar semuanya.
'Kami perlu bicara denganmu, Hermione Granger,' ucap Ron dingin. Ia menatap sahabat perempuannya. Yang ia tatap tampak salah tingkah dan menghela napas panjang. Entah sudah berapa kali ia menghela napas di siang ini.
'Good luck, Granger,' ucap Laurelynn dan Joanna bersamaan. Mereka tahu betul bahwa Harry dan Ron tidak menyukai Slytherrin. Terlebih pemuda Weasley itu.
'Well-yeah. Kata-kata itu sangat berguna untukku saat ini,' ucap Hermione. Ia menyeret kakinya keluar, mengikuti kedua sahabatnya. Laurelynn dan Joanna hanya mampu menggeleng pelan kepalanya dan menatap punggung Hermione. Mereka tidak sanggup membayangkan bagaimana ocehan kedua pemuda Gryffindor tadi.
'Jelaskan!' bentak Ron setelah mereka bertiga duduk berhadap-hadapan. Harry yang duduk di samping Ron hanya menatap Hermione sesaat.
'Sebenarnya tak ada yang perlu kujelaskan. Kau tak akan mengerti!'
'Oh, aku tak mengerti? Di bagian mananya yang tak kumengerti?!' Kali ini Ron berdiri menatap Hermione. Napasnya memburu karena emosi.
'Kau! Hermione Jean Granger, seorang penyihir keturunan Muggle! Menyukai seorang Slytherrin, terlebih orang yang kau suka adalah seorang Malfoy!! Di bagian mana yang tak kumengerti?!' Hermione menengadahkan kepalanya dan menatap wajah pemuda Weasley itu. Pandangannya tajam menatap gadis itu. Hermione menarik napas panjang.
'Ronald Bilius Weasley, kau paham betul aku benci dengan penyihir yang suka membeda-bedakan status darah mereka, dan kau kini membahasnya di hadapanku! Seharusnya sebelum kau mengatakan hal itu, kau berdiri di depan cermin! Selama beberapa minggu terakhir ini kau mengacuhkanku dan Harry karena Lav!! Kau menempelkan bibirmu dan bibir Lav di setiap tempat! Kau bisa mengacuhkan kami, kenapa aku tak bisa mengacuhkanmu?! Dan kau Harry James Potter, jika kau akan membicarakan atau mengulangi kata-kata yang sama seperti pemuda Weasley ini, jangan ajak aku bicara lagi!!,' Hermione berteriak karena gusar. Ia emosi dengan sikap Ron akhir-akhir ini. Harry menatap Hermione dengan pandangan sedih. Ia paham betul perasaan sahabatnya itu, sama sepertinya dan Cho dulu. Yang bisa ia lakukan hanya mengangguk dan menunduk.
'Aku muak denganmu Ron! Aku ingin sendiri!,' ucap Hermione ketus. Ia meninggalkan Ron dan Harry berdua. Kedua sahabatnya berusaha mengejar, tetapi beberapa burung kenari terlebih dahulu terbang di sekitar Ron dan Harry sehingga mereka sibuk untuk menhindari burung-burung itu.
'Harry, kau tahu tentang ini semua?!,' bentak Ron. Ia menatap Harry.
'Err-yeah... Hermione sudah menceritakan semua ini sejak dua minggu yang lalu.'
'Dan kau tak memberitahuku?!'
'Dengar Ron, seharusnya kau juga mengoreksi dirimu sendiri. Dimana kau selama dua minggu terakhir ini huh?! Bersama Lav!! Kau ingat minggu lalu saat Hermione ingin membicarakan hal penting denganmu?! Dia ingin mengatakan hal ini, tetapi kau malah menghindarinya dan bilang akan pergi ke Honeydukes bersama Lav,' jawab Harry gusar. Ia tahu tak bisa bicara kasar dengan Ron saat situasi seperti ini, tetapi lama-lama kesabarannya mencapai batasnya karena sikap Ron.
'Errr-well... itu....'
'Sudahlah, lebih baik kita biarkan Hermione sendiri terlebih dulu,' tutur Harry. Pemuda Weasley itu menghela napas panjang dan mengangguk.
'Ngomong-ngomong, tak seharusnya aku berbicara seperti tadi.'
'Yeah. Kau sedikit kelewatan tadi,' jawab Harry. Ron menunduk lemas. Mereka berjalan menyusuri koridor dan menaiki anak tangga menuju menara Gryffindor.

***


'Hagrid?,' ucap Hermione. Ia tampak kaget melihat sosok besar tiba-tiba muncul di hadapannya.
'Oh hai Hermione! Apa yang kau lakukan sendirian disini?'
Hermione tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
'Kau bertengkar dengan kedua sahabatmu?,' tanya Hagrid hati-hati. Gadis yang berdiri di hadapannya menunduk dan mengedikkan bahunya.
'Kau mau pergi, Hagrid?'
'Well- Professor Dumbledore meminta bantuanku. Yah.... Maaf aku tak bisa menemanimu lama-lama dan menjelaskan ini sekarang Hermione.'
Hermione menatap sosok setengah raksasa di depannya.
'Aku tak apa-apa, Hagrid. Berhati-hatilah di jalan'
'Jangan beritahu siapapun tentang kepergianku ini.'
'Tentu' Hermione tersenyum saat melihat Hagrid pergi. Ia kembali berjalan menyusuri koridor sembari menghela napas panjang beberapa kali. Air matanya nyaris jatuh lagi saat ia menatap sosok Slytherin berjalan bersama teman seasramanya. Draco menoleh dan mendapati sosok Granger berdiri jauh disana menatapnya dan menatap gadis disampingnya.
'Ada apa Draco?,' tanya Lestrange. Zizella Lestrange adalah anak angkat Bellatrix dan otomatis adalah sepupu Draco. Tapi sifatnya jauh berbeda dengan ibu angkatnya itu. Zizella tak sekejam Bellatrix. Walau otaknya terkadang sangat licik, Zizella jauh lebih bijaksana dibandingkan ibu angkatnya yang sedikit gila itu. Jika dilihat sekilas, orang memang akan mengira bahwa Draco dan ia memiliki hubungan darah. Rambut mereka sama-sama pirang keperakan. Warna kulit mereka pucat. Tetapi ada satu perbedaan di antara mereka berdua. Mata biru sapphire milik Zizella terlihat ramah, tak seperti mata Death Eaters lainnya. Tak ada hawa membunuh di mata gadis itu.
'Tak apa. Tak ada apa-apa,' ucap Draco kemudian ia terus berjalan. Zizella menoleh dan mendapati Hermione masih berdiri disana menatapnya.
'Sedang apa kau disana Granger?,' tanya Zizella. Ada nada meremehkan disana.
'Zizella!! Ayo pergi!,' panggil Draco. Gadis itu menoleh menatap saudara angkatnya dan mengangguk.
'Jauhi sepupuku.' Hermione yakin itulah yang diucapkan Zizella saat ia menoleh ke arahnya.
'Sepupu? Dia... seorang Malfoy?,' gumam Hermione. Ia mengingat-ngingat dimana ia pernah melihat gadis itu. Gadis yang tampak tak asing itu.
'Astaga! Dia Zizella Lestrange! Aku, Harry, dan Ron melihatnya di Borgin and Burkes malam itu bersama Draco dan Death Eater lainnya! Tapi... ada apa sebenarnya ini? Bagaimana seorang Death Eater bisa masuk ke Hogwarts? Apakah....' Hermione terdiam. Ia terlalu takut untuk melanjutkan kalimatnya.

Second shoot: Truth

Hermione's POV

'Kau ingin menjenguk Malfoy, sayang?' tanya Madam Pomfrey lembut. Aku mengangguk dan berjalan mengikuti Madam Pomfrey. Semalam Harry menceritakan segalanya. Entah kenapa saat itu aku ingin sekali menampar Harry. Sectusempra. Mantra itu pernah ia tanyakan, dan kini aku tahu itu bukan mantra yang lucu.
'Baiklah sayang. Aku akan meninggalkan kalian berdua disini.' Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih kemudian menatap pangeran Slytherin itu. Dia masih tertidur pulas. Wajahnya pucat.
'Sedang apa kau disini?,' ucap pemuda yang terbaring lemah itu. Aku gelagapan karena ia terbangun.
'A-a-aku hanya mau menjengukmu.'
'Menjengukku huh? Menjenguk atau mengasihaniku?,' tanyanya dingin. Aku terperangah. Disaat sakit seperti ini pun ia masih bisa angkuh?!
'Aku hanya menjengukmu. Tapi kau menanggapinya seperti itu, lebih baik aku pergi saja.' Aku bangkit dari dudukku dan meninggalkannya.
'Granger,' panggil Malfoy. Aku menoleh dan menatapnya datar.
'Temani aku sebentar saja,' ucapnya lagi.
'Tidak, terima kasih.'
'Aku mohon,' lanjutnya. Kutatap lekat-lekat pemuda itu kemudian menghela napas sebentar.
'Baiklah.'
Kutarik kursi ke dekat tempat tidur Malfoy. Ia duduk dan menatapku.
'Jangan menatapku lama-lama,' ucapku. Kurasakan pipiku memanas. Sial, semoga aku tak terlihat salah tingkah.
'Hahahaha. Kenapa?'
'Nanti kau naksir aku,' tuturku lagi. Oh Merlin, aku kerasukan apa?
'Sudah,' bisik Malfoy. Aku mendongak dan menatapnya.
'Maaf?'
'Aku sudah lama menyukaimu, mud-errr-Granger'
Demi Gandalf, apa yang baru saja Malfoy katakan?! Dia.... naksir aku?!
'Kau...'
'Aku bercanda. Hahahaha.'
'Hahahahaha,' balasku garing. Hahahaha. Lucu sekali aku menganggapnya serius.
'Aku bukan hanya menyukaimu, tapi mungkin yaaah...'
'Apa?,' tanyaku tak sabaran. Dia mencintaiku? Oh Gandalf, bunuh aku!
'Yah lebih baik kau tebak sendiri apa itu.' Aku tersenyum menatap makhluk Tuhan paling keren itu (Aku sempat mendengar bahwa ada penyanyi muggle menggunakan judul lagu ini). Malfoy menunduk dan menatap selimut yang menutupi setengah bagian tubuhnya.
'Kau.... ada masalah, Malfoy?,' tanyaku hati-hati. Malfoy muda itu menatapku dan tersenyum. Dia nampak kesepian, terbebani, dan sedih.
'Aku tak apa-apa,' jawabnya lirih.
'Kau yakin?,' tanyaku lagi. Kuberanikan diri memegang dahinya dan dengan sigap pemuda itu menangkap tanganku dan menatapku tajam.
'Akhir pekan ini kau ada acara, Granger?,' tanyanya. Tangannya masih memegang tanganku. Kurasakan tangannya sangat dingin.
'Aku? Err... kurasa tak ada. Kenapa?'
'Kau mau pergi denganku?,' tanyanya dengan nada lirih namun tetap bisa kutangkap dengan baik ucapannya. Apakah ini ajakan kencan?
'Kau....' Malfoy muda itu meringis menatapku.
'Yah.... Kalau kau tak mau pun tak apa-apa,' ucapnya lesu.
Aku tersenyum menatap pemuda Slytherin itu. Aku menolak tawaran itu? Am I stupid or what huh? Tentu saja aku mengiyakan!
'Well, baiklah,' ucapku.
Draco menatapku dengan tatapan kau-sedang-tidak-bercanda-bukan dan aku hanya tersenyum.
'Oke, errr.... lebih baik kau kembali ke asramamu sekarang. Nanti malam akan kutemui lagi,' tuturnya.
'Bagaimana caranya?,' tanyaku. Draco menatapku dan tersenyum. Tangannya masih memegang tanganku.
'Temui aku di menara astronomi. Jangan sampai si Santo Potter dan....' Aku berdehem keras sebelum Malfoy menyelesaikan kalimatnya.
'Maksudku Potter dan Weasley,' koreksinya. Ia memutar bola matanya saat mengatakan itu.
'Baiklah, akan kutemui kau nanti malam,' jawabku. Aku terpaku saat Draco tersenyum kemudian mengecup punggung tanganku.
'Sudah. Kembali ke asramamu Granger' Draco mengusirku karena aku masih diam terpaku dengan ekspresi terperangah. Kulihat ia tersenyum saat melihatku seperti itu. Yang bisa kulakukan hanya gelagapan dan keluar dari ruangan itu secepat mungkin.

***


Hermione pergi meninggalkan Hospital Wings dengan langkah ringan. Sedangkan pemuda yang ditinggalkan menatapnya sedih.
'Aku harus mengakhiri ini semua sebelum ia dalam bahaya,' batin Malfoy muda itu. Dirabanya kemeja putih yang ia kenakan. Untunglah Professor Snape memberikan dalih yang bagus agar kemeja putih yang ia kenakan tak diganti. Jika Snape tak melakukan itu, pasti satu sekolah sudah heboh dan ia sudah berada di Azkaban sekarang.
'Kenapa aku yang dipilih? Kenapa aku yang harus mendapat tugas ini?'
'Malfoy, kau sudah mau kembali ke asramamu atau mau istirahat disini?,' tanya Madam Pomfrey.
'Saya akan kembali sekarang. Terima kasih professor,' jawab pemuda itu. Ia menyingkapkan selimutnya, mengenakan jas hitamnya, merapikan dirinya, kemudian membungkuk hormat ke arah Madam Pomfrey dan meninggalkan Hospital Wings.
'Hai Draco,' sapa seseorang yang pemuda itu temui di lorong.
'Ada apa Parkinson?'
Parkinson mendekati Malfoy dan menggandengnya ke aula besar. Pangeran Slytherin itu tampak sangat jengah saat satu aula besar menatap ke arahnya dan gadis di sebelahnya.
'Dammit! Kenapa aku masih harus berjalan dengannya?!,' batin pemuda itu.
'Ada apa denganmu Draco? Kalah duel dengan Gryffindor aneh itu?,' tanya seorang pemuda dari asramanya saat ia tiba di meja bersama Parkinson.
'Diam kau Zabini. Bukan urusanmu. Ngomong-ngomong, apa yang kau baca?,' tanya Malfoy muda itu saat melihat temannya duduk tenang menikmati pai cherinya dan tangan kirinya memegang sebuah buku.
'Duel dengan Dracula, karya Gilderoy tengik itu. Ibuku memaksaku membaca buku ini. Aku sudah pernah membacanya saat kelas dua, entah apa yang ada di pikiran ibuku!,' erang Blaise. Nyaris ia banting buku di tangannya.
'Tabahkan hatimu Zabini, hahahaha,' ledek Crabbe saat melihat Blaise nyaris membanting buku itu dan disambut dengan pandangan kau-cari-mati-tambun dari Blaise.
'Apa saja yang kulewatkan dua hari ini?,' tanya Malfoy kemudian meminum jus labu dari pialanya. Ia sama sekali tak bernafsu makan setelah melihat dua teman tambunnya makan kesetanan dan melihat Potter sialan itu berjalan dari pintu aula menuju mejanya.
'Seperti biasa, hanya disuruh lebih berhati-hati. Sungguh menyedihkan,' jawab Blaise. Draco tersenyum sinis menatap deretan guru di depan sana. Kemudian matanya beralih ke arah meja Gryffindor. Gadis itu ada disana bersama weasle-bee dan artis kita tentunya, Potter. 'Aku sedang tak terlalu lapar. Kupikir aku akan kembali ke asrama saja,' tutur Malfoy kemudian pergi dari aula besar.
'Draco!,' panggil Pansy tepat sebelum pemuda itu pergi dari mejanya.
'Jangan ikuti aku!' Kemudian sosok pemuda itu menghilang dari balik pintu.
'Kau sedang tak beruntung Pansy,' ledek Blaise. Gadis Slytherin itu hanya terdiam dan mendengus kesal.
Draco berjalan menyusuri lorong. Memeriksa keadaan sekitar kemudian berbelok ke arah toilet perempuan dengan tulisan besar RUSAK di depannya. Ia kendorkan sedikit dasinya dan mengacak-ngacak rambutnya. Jas hitamnya ia letakkan di wastafel lain yang tampak kering.
'Well, kau kembali lagi,' ucap satu suara. Malfoy muda itu tahu betul siapa pemilik suara itu.
'Diam kau Myrtle!,' bentak Malfoy. Ia membuka dua keran di depannya dan menunduk menatap keran-keran yang mengalirkan air dengan deras.
'Ada apa lagi Malfoy? Ada masalah apa sebenarnya?,' tanya Moaning Myrtle dan dia berdiri terbalik di depan Draco.
'Bukan urusanmu Myrtle. Diamlah di salah satu 'kamar' toiletmu. Aku ingin sendirian saja!,' bentak Malfoy lagi. Hantu cengeng itu tersentak dan menangis kemudian terdengar bunyi percikan air keras, yang sangat diyakini Draco bahwa Myrtle telah menceburkan diri ke salah satu lubang toilet.
Draco membasuh wajahnya dengan air dingin kemudian menatap ke cermin.
'Malfoy? Apa yang kau lakukan disini?,' tanya gadis di belakangnya. Draco menoleh dan tersenyum sini. Senyum khas ala Malfoy.
'Tak ada urusannya denganmu gadis weasle-bee!'
'Jelas ada urusannya. Ini toilet perempuan, Tuan Malfoy! Sejak kapan kau jadi seorang perempuan huh?,' tandas Ginny sadis. Malfoy mencibir dan menarik jas hitamnya yang ia lepaskan dan membetulkan dasinya.
'Kau berisik sekali. Dan aku yakin kau tahu bahwa toilet ini rusak, Weasle-bee! Jadi tak ada yang masuk kesini,' geram Malfoy kemudian melangkahkan kakinya pergi dari toilet perempuan. Keran-keran itu masih mengalirkan air dengan deras hingga Malfoy hilang dari sudut lorong.
'Apa yang merasuki Hermione hingga ia menyukai penyihir macam dia?,' keluh Ginny dan menutup keran-keran itu.

***


'Malfoy?'
Gadis itu menatap ke sekeliling menara astronomi. Sinar bulan menyinari menara itu. Bulan purnama penuh dan yang ada di pikiran Hermione kini adalah mantan guru Pertahanan Ilmu Hitamnya, Remus Lupin.
'Pasti sakit,' gumam gadis itu.
'Sakit? Siapa yang sakit?,' tanya seseorang tak jauh darinya.
'Merlin! Kau membuatku jantungan, Malfoy!!'
Malfoy tersenyum. Senyum khas yang dimiliki keluarga Malfoy tentunya. Semburat merah mewarnai pipi Hermione.
'Baik, kau mau memberitahuku sesuatu kan? Cepat,' ucap Hermione. Ia menatap ke sekeliling. Sepi, tak ada siapa pun.
'Kita pergi malam ini saja. Tak ada waktu hingga akhir pekan,' ucap Malfoy. Ia menggenggam tangan gadis Gryffindor itu.
'Kemana k-' SLAP! Belum sempat Hermione menyelesaikan kalimatnya, mereka telah berpindah tempat. Awan begitu dekat dan dingin menyengat. Gadis itu menatap ke depan, kemudian ke bawah. Nyaris ia berteriak.
'Ma-ma-malfoy?,' panggil gadis itu ketakutan.
'Ya?' Seseorang berbisik dari belakangnya. Jarak antara wajah mereka sangat dekat. Semburat merah kembali mewarnai wajah gadis itu. Dilihatnya tangan kanan pemuda itu memegang erat sapu terbangnya dan tangan kirinya memegang Hermione seolah ia benda rapuh.
'Kita akan kemana?,' tanya Hermione gemetaran. Dingin udara sekitarnya mulai membuatnya kaku.
'Kau akan tahu. Tenang, aku tak akan melukai ataupun menyakitimu,' ucap Malfoy muda itu sembari tersenyum getir.
'Tidak akan hingga kau tahu siapa aku,' bisik pemuda itu sedih. Nyaris tak terdengar tetapi Hermione sempat menangkap beberapa kata di akhir kalimat.
'Maaf?,' tanya Hermione dan hanya dijawab dengan senyuman serta gelengan lemah pemuda di belakangnya.
Tak sampai dua puluh menit mereka telah mendarat. Menyusuri jalanan sepi Diagon Alley.
'Leaky Cauldron?,' gumam Hermione. Dirasakannya tangan putih pucat itu telah mengenggam tangannya dan menariknya masuk ke dalam.
'Se- Aha! Tuan Malfoy! Selamat datang!,' sambut Tom, pemilik bar itu. Ia tampak kusut dan sedikit berkeriput -faktor usia.
'Selamat malam. Sangat sepi, Tom,' tutur pemuda itu angkuh tetapi ia berusaha menunjukkan sopan santunnya mengingat ia membawa seorang gadis yang sangat menjunjung tinggi kesopanan terhadap yang lebih tua.
'Ya, tuan. Anda mau memesan apa?'
Malfoy menarik Hermione ke meja di sisi kanan bar. Tidak terpojok, tempat itu paling terang malah.
'Aku minta butterbeer satu, dan satu botol anggur-buatan peri rumah tak apa sepertinya. Serta dua gelas terbaikmu Tom. Akan ada satu tamu lagi.' Pemilik bar itu tersenyum takut dan menatap Draco, kemudian ia menghilang ke dalam. Terdengar sedikit suara gaduh.
Hermione terkesiap. Satu tamu lagi? Apakah...
'Aku tidak bodoh dan gila, Granger. Aku tahu siapa yang ada di pikiranmu. The Dark Lord tak ada disini. Tenang saja. Begitu pula bibiku yang sinting dan pelahap maut lainnya,' terang pemuda itu. Hermione sedikit bernapas lega karena Draco sudah menyebutkan bahwa Bellatrix tak akan ada disini bersama mereka.
'Oh ya, aku tahu kau seorang gadis, belum akil baligh... dan karenanya aku tak mau memaksamu meminum anggur. Kau cukup minum butterbeer itu saja nanti. Paham?,' tanya Malfoy muda itu. Hermione mengangguk patuh.
PLOP!! Terdengar bunyi letupan keras dari sisi kiri bar itu. Hermione menoleh dan menatap wanita anggun yang tampak kelelahan bersama seorang gadis gemuk dengan rambut lurus panjang tersenyum sedikit angkuh.
'I...bumu dan...?' Pertanyaan itu meloncat begitu saja dari bibir Hermione.
'Ohh Draco...' Narcissa memeluk putra tunggalnya. Ada butir-butir air mata di pelupuknya.
'Hai jelek,' ucap gadis gemuk itu.
'Well- aku tak tahu kau akan datang bersama Mum, Charlotte,' tutur Draco. Ada nada tak senang disana.
'Dia membantu Mum akhir-akhir ini. Tenang Draco, dia dapat kita percaya.'
Hermione melongo dan tampak seperti orang tolol. Mereka begitu elegan dan.. mewah. Ditatapnya gadis bernama Charlotte itu. Gaun sutra berwarna hitam dipadu dengan benang berwarna perak dan emas. Ada beberapa permata asli menghiasi bagian lengan gaun itu. Hermione dalam satu detik sudah bisa menduga bahwa gadis itu adalah darah murni, dan seorang bangsawan.
'Ah! Mrs Malfoy! Selamat datang,' ucap Tom sembari membawakan pesanan Draco tadi.
'Kukira aku butuh satu lagi gelas, Tom. Berikan yang biasa saja, tak ada gelas terbaik untuk tamu tak diundang,' tandas Draco sadis.
'Draco!,' bentak Narcissa saat mendengar ucapan putra kesayangannya.
'Tak apa aunt Cissy. Saya sangat paham,' ucap gadis gemuk itu kemudian mencetak senyum sinis dan melontarkannya ke Hermione.
'Jadi...' Charlotte tak melanjutkan kalimatnya sesaat karena sibuk menjejalkan dirinya di atas kursi dan menatap Hermione.
'Dia, darah-lumpur, yang kau maksud,' lanjut gadis itu kemudian meraih gelas yang disodorkan Tom padanya.
'Aku ingin butterbeer saja kalau kau tak keberatan Tom,' ucap Charlotte setelah meletakkan kembali gelas yang disodorkan pria tua berkeriput dengan gigi ompong pemilik bar itu. Tom mengangguk pertanda mengerti.
'Sekali lagi kau menyebutnya dengan sebutan itu, aku tak segan-segan melemparkan killing curse padamu!,' tandas Draco.
'DRACO!!,' bentak ibunya.
'Sorry Mum'
'Oh, selamat malam Miss Granger,' sapa Narcissa. Wajahnya terlihat masih angkuh, sama seperti saat mereka terakhir bertemu di Diagon Alley dulu.
'Er- malam Mrs Malfoy'
Hermione terlihat sangat tidak tenang berada di tengah-tengah darah murni seperti ini. Maksudnya adalah di tengah-tengah para bangsawan yang sempat ia pikir rasis dan menyebalkan.
'Hermione, kau tahu kan si gendut ini?,' tanya Draco dengan menatap gadis gemuk itu dengan pandangan sengit.
'Draco!'
'Er- yeah, aku tahu.'
'Kaget bila kau tidak tahu,' sela Charlotte. Hermione menatap gadis gemuk itu dan ingin sekali mencekik lehernya. Tetapi niat itu ia batalkan mengingat jari-jarinya mungkin tak bisa menggenggam penuh leher Charlotte.
'Kami ada disini karena, yah, kami ingin berbincang-bincang ringan denganmu,' ucap Narcissa. Wanita itu berusaha mengatur nada bicaranya agar terdengar tenang, tetapi sayangnya di Hermione malah terdengar dua kali lebih gelisah.
'Ada yang salah Mrs Malfoy?,' tanya Hermione. Ia tahu akan terdengar kurang ajar karena langsung bertanya seperti itu.
'Aunt Cissy saja, kalau kau tak keberatan.' Wanita itu tersenyum kemudian menikmati anggur berwarna merah darah di depannya -yang dimaksud disini adalah wine, jika kalian belum begitu mengerti.

Di lain tempat,

'Loo - er maksudku Luna, yeah Luna!,' panggil seseorang di belakang gadis berambut gelombang dengan warna pirang kotor itu. Yang dipanggil Luna tadi menoleh dan menatap gadis itu dengan pandangan kosong. Tangannya masih memegang The Quibbler dengan terbalik.
'Ya Isabelle?'
'Er - bolehkan aku meminjam The Quibblermu? Err - aku ingin membaca sesuatu, jika kau tak keberatan.'
Wajah Luna kemudian berseri-seri saat mendengar pernyataan anak kelas tujuh itu.
'Oh tentu! Kau boleh mengambilnya, aku punya satu salinan lebih di asrama.'
Isabelle, anak kelas tujuh Ravenclaw itu menatap ke sekeliling. Seakan-akan ia takut kalau ada yang melihat.
'Well, baiklah. Ayo kita ke ruang rekreasi. Er - apa kau punya dua salinan? Aku dan Alexander - kau pasti tahu anak Hufflepuff yang berambut cokelat berantakan dengan hidung bengkok itu, ingin membacanya. Sekedar bacaan ringan, er- kau mengerti maksudku kan?'
'Ah! Kau ingin membaca tentang Wracksprut atau....'
'Bukan! Er- lainnya...,' sela gadis dengan rambut hitam panjang yang diikat menyerupai ekor kuda.
'bukan tanduk kasut -atau kisut, itu juga.' Isabelle menambahkan.
'Oh baiklah.' Mereka berjalan ke pintu di ujung lorong itu. Setelah menjawab pernyataan dengan benar mereka masuk. Isabelle menunggu Luna di ruang rekreasi sembari menatap ke sekitar.
'Ini,' ucap Luna sembari menyerahkan dua salinan The Quibbler. Isabelle menerimanya dan nyaris muntah karena mencium bau aneh dari majalah itu.
'Oh, mungkin para Nargles bermain-main di tasku tadi, jadi...'
'OK! Ini sangat membantuku Luna, terima kasih.' Isabelle berlari meninggalkan ruang rekreasi dan Luna mengikutinya meninggalkan ruang rekreasi sembari bersenandung riang.

Kembali ke Leaky Cauldron,

'A-apa maksud Anda?,' tanya Hermione saat mendengar penuturan Narcissa tentang Draco. Raut muka mereka semua tegang. Tak ada yang berkutik sedikitpun. Draco menunduk dan hanya sesekali menatap gadis Gryffindor itu.
'A-a-aku tahu kalau aku salah karena...'
'JELAS SALAH MRS MALFOY! Aku tahu aku hanya seorang kelahiran Muggle, tetapi aku tidak akan sebodoh itu hingga rela mengabdi pada Vol-' Belum sempat Hermione melanjutkan kalimatnya, Tom berteriak dari arah dapur.
'Lanjutkan,' perintah Charlotte kemudian ia berjalan ke arah dapur dan sunyi terasa. Gadis gemuk itu kembali dengan bergumam riang. Hermione menatapnya sedikit takut.
'Oh tenanglah, aku tak membunuh atau menyiksanya. Hanya kubuat pingsan dan merubah memorinya. Aku tidak tolol macam dia,' ucap Charlotte sembari menunjuk ke arah Draco.
'Charlotte!,' bentak Narcissa.
'Maaf aunt Cissy.'
'Aku memohon dengan sangat Miss Granger. A-a-aku...' Narcissa menangis lagi. Putra tunggalnya kini menggandeng Hermione.
'Ikut aku sebentar, kumohon.' Hermione mengangguk dan mengikuti Draco. Dia berjalan menuju Diagon Alley.
'Kau lihat bagaimana menyedihkannya Diagon Alley saat ini bukan? Aku takutkan ini akan lebih parah dibandingkan yang kau lihat. Aku.... terpaksa,' ucap Draco lemah.
'Keterpaksaan yang sungguh tolol, Malfoy,' ucap Hermione dengan nada menghina.
'Ayahku di Azkaban.'
'Itu salahnya,' jawab Hermione.
'Ibuku tak henti-hentinya menangis.'
'Aku sudah tak punya hati lagi untuk memikirkannya.'
'Dan kini kau membenciku.'
'Itu....' Hermione terdiam. Ia menghela napas panjang. Seorang Death Eater, apa yang ada di pikiran keluarga bodoh ini sih? Gadis itu terus menerus mengerang dalam hati.
'Oh ya Hermione, peringatkan artis kita...'
'Maaf?'
'Maksudku Potter, banyak murid perempuan di Hogwarts yang mengincarnya, bahkan mungkin anak laki-laki gila pemujanya -melebihi bocah Creevey itu. Mereka menggunakan The Quibbler, cokelat kodok yang dicampur Amortentia, dan segala macam hal berbahaya yang diciptakan oleh remaja-remaja gila yang kasmaran,' ucap Draco jengah. Hermione terkikik pelan. Lucu rasanya mendengar Draco perhatian dengan Harry, sahabatnya.
'Dan soal kita...' Draco terdiam dan menatap Hermione lekat-lekat.
'Aku belajar Legilymency, otodidak dan masih kasar. Dan maafkan aku karena...'
'Kau membaca pikiranku, yang tanpa sengaja adalah saat aku memandangmu di perpustakaan?'
'Tepat,' jawab Draco. Pemuda itu tersenyum.
'Sangat terasa saat kau melakukannya. Kasar, sangat kasar,' tutur Hermione sengit. Ia memegangi kepalanya. Tak sakit memang tetapi saat pikirannya terbaca, ada rasa tak nyaman di kepalanya. Kini ia tahu kenapa Harry membenci saat-saat Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut membaca pikirannya.
'Dan beberapa lainnya, di saat kau membaca Rune kuno untuk tingkat lanjut atau apapun itu. Demi Merlin, kau mengambil itu untuk kelas NEWTmu?! Gila!'
'Aku sangat menyukai rune kuno,' ucap Hermione. Ada nada bohong disana dan hal itu lagi-lagi membuat Draco tersenyum.
Wajah Draco semakin mendekat. Hermione menunduk jengah. Pemuda itu berbisik di telinganya.
'Confundus.' Dan seketika Hermione linglung dibuatnya.
'Aku senang karena kau sudah tahu perasaanku, sudah tahu jati diriku, dan sudah melihat posisiku serta ibuku. Itu lebih dari cukup,' tutur Draco. Hermione masih linglung dan Draco berbisik lagi di telinganya.
'Obliviate.' Kemudian semua gelap.

-to be continued

Labels: , , , , ,



comment? / top