-theycallmetheendofstories


The Owner

theycallmetheendofstory
Hanya seorang penulis yang merasa dan mengaku bahwa dirinya seorang Slytherin. Seratus persen berasal dari distrik Karier. Sering kali mengalami penyakit dengan judul writer's block dan mager. Seorang koleris-melankolis. Sick, biaswhore, bipolar—that's enough.
let's play! :)

Hwat? Mischief managed Nox!

Well?
Sejauh ini saya menyukai dunia baca dan tulis. Belum berani mengaplikasikan tulisan saya ke umum karena penyakit saya sendiri (all hail writer's block dan mager!). Bukan penulis yang baik, jadi maklumi saja jika ada alur atau diksi saya yang membuat kalian mual, muak, bahkan malas untuk membacanya lagi.
Oh wait, am I need some chatbox?

friends
your links go here,
tumblr

thanks
© * étoile filante
inspiration/colours: mintyapple
icons: me reference: x / x

past
July 2010
September 2010
October 2010
May 2012
June 2012
October 2012
title: “Peace begins with a smile.”
date: Monday, October 29, 2012
time:6:38 a.m.


Summary :
“Mungkin ada baiknya bahwa aku menghilang.” Matthew terdiam. Berusaha menanggapinya dengan tenang. “Bagaimana denganku?”

Disclaimer :
Hidekazu Himaruya-sensei

Warning :
PruCan. AU. OOC. OC (New Prussia). Sho-ai. Typo. And many more.
.

.

.

Pemuda itu hanya termangu menatap piring kosong di depannya. Ini hari ketiganya berkunjung ke adik laki-laki personifikasi Amerika. Tak jauh dari jangkauannya, satu botol sirup maple masih tersegel rapih. Mirah delima di matanya sesekali melirik ke arah dapur, dimana seorang pemuda lainnya sedang sibuk dengan adonan, penggorengan, dan sarapan mereka. Sebuah senyum terlukis begitu rapih dan cerah di wajah pemilik saga tadi. Pun begitu, perlahan memudar seiring fakta yang sudah sekian puluh tahun dihadapinya.

Dia, bukanlah lagi satu kerajaan yang disegani. Dia hanya sebuah memori.

West, begitu ia memanggil sang adik, sudah begitu damai. Karenanya, walau ia berjanji bahwa ia akan selalu menjadi perisai sekaligus pedang pelindung untuk adiknya, sang personifikasi negara perlahan memberikan ruang-ruang tertentu; untuk dirinya dan sang adik. Faktanya, puing-puing bagiannya, sang pemilik mirah delima, tersebar di dunia. Dan kini, ia sedang berusaha mengumpulkannya. Mencoba agar orang tahu bahwa ia pernah berdiri. Pernah menjadi satu kerajaan juga negara yang kuat, begitu disegani kekuatan militernya, hingga Perang Dunia itu meletus. Kabar burung mengatakan bahwa itu karena usia. Kerapuhan.

Ironis.

Sampai ia bertemu pemuda dengan kacamata yang bertengger di hidung dengan celemek itu. Bukan peperangan lagi yang menjadi bagian hidupnya. Juga bukan sikap barbarian serta ksatria yang kini menaungi kehidupannya. Tetapi, perhatian serta kenangan. Senyum milik pemuda itu yang membuatnya kali pertama jatuh, merasakan bahwa ia sudah dalam keterpurukan yang begitu dalam.

Personifikasi tidak akan pernah merasakan sakit.

Personifikasi tidak akan pernah merasakan luka.

Namun, sebuah pengecualian jika negara yang menjadi naungannya telah tiada.

Gilbert Beilschmidt, personifikasi Prusia, kini berkabung dalam benaknya sendiri.

.

.

.

“Peace begins with a smile.”
–Mother Teresa.

.

.

.

“Gil?”

Mirah delima itu menatap sumber suara. Seketika mendapati pemuda berkacamata itu di depannya dengan sepiring penuh pancake. Di belakangnya, seorang anak kecil dengan mata biru nyaris ungu dan rambut pirang platinanyaris putih, mengekor dengan senyum jenaka khas milik sang personifikasi Prusia. Bagian negaranya, bagian dari Gilbert Beilschmidt, ada dan dirawat dengan baik oleh Matthew, Kanada.

“Kau sakit, Gil?”

Gilbert memilih untuk bungkam.

“Paman Gilbert sakit?”

Pertanyaan dengan nada khawatir milik Matthew disusul oleh celotehan anak kecil yang diyakini olehnya adalah bagian Prusia yang ada di teritorial Kanada selama ini, New Prussia. Si kecil itu mulai kembali mengikuti tingkah Matthew. Mulai dari duduk di seberang Gilbert, memiringkan kepalanya, memberikan air muka panik dan khawatir, serta mengerjapkan mata dengan mimik yang membuat Gilbert tersenyum tipis. Kanada sanggup merubah bagiannya dengan segala sikap tenangnya.

“Makhluk paling awesome sepertiku tidak mungkin sakit.”

Matthew hanya tersenyum. Sedangkan anak kecil yang terus-terusan membeo tingkah personifikasi Kanada itu bangkit. Kali pertama Gilbert melihatnya jalan dengan begitu antusias, mengulurkan tangannya, dan merengkuh Gilbert. Jari jemarinya saling dikaitkan dan wajahnya disembunyikan di bahu Prusia. Dan respon yang diterima si kecil tentu pun tidak terbayangkan oleh sang Beilschmidt. Reflek, ia percaya dengan hal itu; pemuda itu balas memeluk si kecil. Mendekapnya erat sampai Matthew memecahkan fokusnya.

“Ada yang mengganggu pikiranmu, Gil?”

“Tidak. Tentu tidak.”

“Tapi, kau menangis, Gil.”

Sontak, jemarinya menyusuri pipinya sendiri. Menyentuh rahangnya dan merasakan butir bening hangat yang masih bisa dirasakannya disana. Mungkin, kabar burung itu benar adanya. Kini, ia begitu rapuh.

.

.

.

Gilbert menyenderkan kepalanya pada dinding. Sendu; nampaknya penggunaan kata itu tidak terdengar hiperbola kini. Sang personifikasi merasakan bahwa ia sudah begitu jauh di belakang. Negara lain sudah begitu maju di depannya; sudah begitu berkembang dari berbagai aspek. Hanya ia sendiri yang masih memaksakan bertahan walau tahu bahwa Rusia sudah menggempurnya. Mengumbar bahwa dengan dua kaki dan tangannya sendiri, ia bisa membawa Prusia kembali tercetak dalam peta. Ia bisa mengembalikan eksistensinya dulu. Perlahan, namun pasti.

Yang sayangnya, kini ia paham bahwa realisasi akan hal itu nyaris mendekati kata mustahil.

Impiannya terlalu tinggi. Terlalu muluk untuk diwujudkan. Bahkan dengan bantuan adiknya pun, ia tidak akan bisa menjadikan nama Prusia kembali merebut atensi dunia. Atensi berubah menjadi eksistensi semata; lalu menghilang seiring dengan bagian Prusia digerogoti Rusia dan Polandia.

“Gilbert? Apa yang kau lakukan disini?”

“Tidak ada.”

“Ayo, masuk.”

Diam. Tidak ada jawaban yang dilontarkan oleh Gilbert. Ajakan Matthew hanya dianggap angin lalu.

“Gilbert? Kau sedang memikirkan sesuatu?”

Pemilik mirah delima itu menoleh. Sudut bibirnya tertarik dan menyisakan satu senyum yang begitu sedih di wajahnya. Berkas-berkas rasa pedih masih tercetak jelas disana. Kekecewaan sekaligus merasa terhina pun dapat Matthew lihat di raut wajah milik personifikasi Prusia. Pemuda berkacamata itu lalu paham akan situasi. Depresi, frustasi, tertekan, dan merasa terasingkan. Momen yang pernah dilewati juga oleh Matthew Williams selaku personifikasi negara.

“Kau akan selalu menjadi bagian penting dunia, Gilbert.”

Pemuda dengan rambut putih itu masih memilih untuk mengunci mulutnya. Belum pernah ada tanggapan yang begitu dalam ditujukan padanya. Hanya Ludwig, adik sekaligus personifikasi negara Jerman yang memberikan dukungan moral seperti itu sejauh ini. Lalu kini, Matthew menumpahkannya. Serta merta, tangan Gilbert kemudian terulurmenarik sang Kanada ke dalam pelukannya.

“G-Gil?”

“Sebentar saja.”

“E-eh. T-tapi....”


Matthew baru akan membuka suaranya lagi, sampai menyadari bahwa bahu personifikasi yang memeluknya bergetar hebat. Gilbert Beilschmidt sekali lagi menangis. Meratapi semua hal yang menimpa kerajaan sekaligus negaranya. Perang Dunia. Semua kawan dan lawan. Semua yang ditinggalkan dan meninggalkan. Semua memori; kemenangan dan kekalahan.

“K-kau mau aku menghubungi Antonio dan Francis?”

Rambut putih itu bergesekan dengan pirang milik Matthew. Penolakan tanpa suara. Penggunaan komunikasi non verbal. Matthew hanya bisa makhfum. Tangannya bergerak naik. Mengusap punggung Beilschmidt.




comment? / top


title: "If happy ever after did exist."
date: Saturday, June 23, 2012
time:7:22 p.m.
Title: "If happy ever after did exist."
Rating/genre: General/Angst. Oneshot :"|b
Disclaimer: Universe milik om Rick Riordan. Bukan! Milik saya! Beckendorf milik saya! Karena Beckendorf milik saya, akan saya buat bromance sebanyak mungkin antara Beckendorf dan Percy! HAHAHA. Bercanda #krik. IndoOIympians milik para staff. Basil Collins milik PMnya. Yang saya punya disini hanya plot dan Kurt Collins.


 .

.

.

Usianya baru menginjak angka tujuh pagi ini. Udara memberat di luar. Musim dingin sudah mulai menyapa. Dering demi dering untuk menghadapi kenyataan bahwa akan ada hari berat di sekolah kembali membebaninya. Si kecil itu terduduk di tepian kasur. Obsidiannya menatap surai kembarannya yang masih terlelap. Alih-alih membangunkannya, ia meraih bantalnya dan melemparkan substitusi tersebut tepat ke wajah bocah yang masih mendengkur halus dan terbuai mimpi. "Bangun, tukang tidur. Ucapkan selamat ulang tahun untuk kita." Sebuah kebiasaan yang mungkin dilakukannya kemudian setiap tahunnya.

Kaki-kakinya kemudian mulai menuruni satu per satu anak tangga. Membuat suara setenang mungkin, bahkan nyaris tidak terdengar langkah demi langkahnya. Dan yang tertangkap oleh kedua kelerengnya adalah wanita itu. Menunduk di meja dapur. Menyimpuhkan diri dalam doa. Begitulah yang dilihat Kurt Collins. Sayup-sayup bahkan ia mendengar isak tangis. Sebuah kesedihan nyata yang membuatnya mau tak mau kemudian terdiam pada satu anak tangga. Memerhatikan ibunya. Memerhatikan gerak-gerik itu, hingga ia yakin bahwa yang terucap adalah ayah.

Tidak pernah ada topik mengenai hal itu di rumah ini. Bahkan sekalipun meski terlintas di benak Kurt untuk menanyakannya, karena lumrah jika seorang anak menanyakannya. Menanyakan keberadaan ayah kandungnya sendiri. Tetapi setiap melihat perubahan ekspresi yang nyata di wajah Nora, bibir pemuda kecil itu terkunci rapat. Enggan dibuka kembali karena kerut demi kerut kesedihan ditunjukkan Nora walau wanita itu berusaha menyembunyikannya.

Pagi ini begitu berbeda. Butiran itu melesat tanpa penghalang. Memberikan penjelasan seolah pada pengamat bahwa ada kesedihan mendalam yang disembunyikan dari kedua putera Nora. Kurt berbalik. Memilih untuk pura-pura bahwa ia tidak tahu. Membiarkan ibunya hingga tenang dan merasa lebih baik. Karena usianya masih berada pada titik tujuh, dan anak laki-laki itu masih belum tahu bagaimana untuk bersikap terlalu banyak. Menenangkan ibunya seperti biasanya ibunya menenangkannya terlihat begitu susah. Bibirnya butuh lebih dari sekedar mantra untuk mengembangkan senyum itu.

Diputar kenop pintu kamarnya dan Basil. Siluet bocah di atas tempat tidur membuatnya menghela napas perlahan. Dipijit ringan kepalanya sendiri, lalu memakai sepatu kets dan menyambar topi serta tas selempangnya. Berusaha mencari distraksi. Secarik kertas pun diraihnya dengan sebatas pensil. Menggambarkan sebuah kedai, karena disleksia yang diderita keduanya tidak membantu sama sekali menggambarkan kedai yang dimaksud; dimana keduanya pasti akan selalu berada di jalanan sempit kedai itu jika merasa penat. Seperti yang dirasakan si kecil Kurt.




.


.



.


Tungkai itu berhenti seketika di ujung jalanan. Obsidian itu menyipit, berusaha menangkap kelam dari substitusi di seberang. Seseorang sudah berada pada jalanan sempit di belakang kedai. Tetapi seorang Kurt tetaplah pribadi yang masa bodoh dengan siapapun anonim di depannya selama tidak mengganggunya sama sekali. Bahkan sekalipun ia melihat bahwa anonim itu menatap ke arahnya. Tepat ke obsidiannya. Bibir anonim membentuk simpul sederhana di balik simpuhannya sendiri.

"Anda baik-baik saja, pak?"

Anonim itu semakin memerhatikannya tepat ketika bibir Kurt bergerak menanyakan pertanyaan sederhana. Sebuah pertanyaan yang terpicu karena rasa familiar dan rasa sakit hati yang tinggi pada sosok tersebut. Yang entah bagaimana merayap begitu saja. Otaknya seolah terancang untuk menyusun deretan tanda tanya pada pria di seberang hidungnya. Menuntut kejelasan.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

"Tidak sama sekali."

Kurt hanya berusaha jujur. Rasa marah itu menggelegak. Obsidiannya memandang dingin ke visualisasi yang menjawab pertanyaannya. Semua rasa yang berkecamuk membuatnya sengsara saat ini. Tujuh tahun. Di ulang tahunnya ke tujuh ini lah sebuah kejutan yang tidak diduganya didapatnya. Batinnya mendapatkan tekanan sedemikian rupa karena pagi ini. Mendapati Nora menangis di dapur, wajah pagi Bas dengan kelopak mata yang masih tertutup, dan kini pria itu. Yang bahkan tak dikenalnya. Namun begitu familiar. Begitu mengaduk emosinya. Perasaan tidak senang yang memacu mulas perutnya.

"Boleh kutahu kenapa?"

"Bukankah anda sudah bertanya terlalu jauh?"

"Siapa namamu?"

"Kurt. Kurt Wulfric Collins."

Tercelos begitu saja. Orang itu berdiri kemudian berjalan mendekati anak laki-laki Nora. Bahkan bibirnya memberikan sebuah senyuman. Yang entah bagaimana justru tidak terlihat teduh sama sekali. Ada berbagai makna dalam senyuman itu. Bahkan makna meremehkan. Meremehkan bahwa si kecil Kurt hidup dengan cara milik Nora; dimana tidak apa-apa jika tidak tahu sama sekali soal ayah kandung mereka. Sebenarnya bukan masalah untuk Kurt meski itu menggantung di benaknya, tetapi begitu melihat senyuman pria yang berdiri dengan jarak hanya beberapa meter dengannya kini membuatnya muak.

"Bagaimana kabar Nora?"

"Anda mengenalnya." Menuntut sebuah konfirmasi nyata. Bahkan kedua obsidian itu balik menatap obsidian milik lawan bicaranya tanpa gentar.

"Tentu. Aku mengenalnya. Dia kawan lamaku."

Lalu hanya anggukan yang dilakukan si kecil Kurt. Visualisasi kelam itu berjalan mendekat, bahkan kini berjongkok. Memaksakan diri untuk bertatap langsung dengan adam kecil milik Nora. Obsidian bertemu obsidian. Keduanya tidak bisa menebak emosi satu sama lain; antara rasa rindu yang begitu dalam, rasa marah, atau isak tangis sedih. "Bisa kutemui lagi kau disini, Kurt?"

"Kapan tepatnya?"

"Satu tahun lagi, di jalanan ini. Pada jam yang sama. Tepat di ulang tahun ke delapanmu."

.


.


.


Satu hari mendekati angka satu tahun setelah pertemuan si kecil Kurt dengan pria anonim. Sebuah kecelakaan kecil. Kali terakhir yang diingatnya adalah sebuah truk menyambar mobil Nora. Manik yang terakhir dilihatnya adalah manik saudara kembarnya. Bertukar paham dalam kebisuan. Seolah mereka tahu bahwa peristiwa ini akan menjadi sebuah rutinitas tahunan; melibatkan diri mereka sendiri nyaris dalam kematian. Dan kini Kurt kecil ada pada sebuah lorong panjang. Sebuah jalanan sempit yang diingatnya. Yang begitu familiar dengan adam yang ditemuinya tepat satu tahun lalu. Tepat satu tahun lalu. Ada bunyi detik jarum jam. Memecah keheningan. Lambat laun, si kecil sadar dengan kehadiran pria tersebut. "Kau anubis, ya?"

Sang pria mengulum senyum sederhana. Masih sama tak tertebaknya antara begitu sendu, rindu, atau meremehkan. Tangan itu meraih puncak kepala Kurt Collins. Mengusapnya penuh asa. Penuh pengharapan. Kepala anak laki-laki Nora menengadah. Memandang wajah pria itu. Sebuah isyarat berbahaya seolah menjadi palang disana. "Tidak ada istilah anubis dalam duniaku, nak."

"Lalu?"

"Aku dari mitologi Yunani."

Seketika adam kecil itu paham. Tetapi kepalanya digelengkan. Melakukan penolakan halus lalu mengambil beberapa langkah ke belakang. Kecelakaan itu telah dirancang oleh sang dewa. Dirancang sedemikian rupa hingga Kurt tak menyadari bahwa beberapa detik sebelum truk itu kehilangan kendali, obsidiannya menangkap siluet sang dewa. "Nora dan Basil masih membutuhkan Kurt."

"Tidak, Kurt. Ayahmu lebih membutuhkanmu." Pria itu menjelaskan sesederhana yang ia bisa. Tanpa panjang lebar yang akan dengan serta merta diindahkan oleh gendang telinga pemuda cilik di depannya. Raut wajahnya menjabarkan kebutuhan. Menjabarkan betapa rakusnya ia dengan kalimat itu. Kalimat yang telah diucapkannya. Menuntut si kecil untuk mengiyakan. Obsidian itu bahkan berkilat. Merunduk menatap wajah naif itu menengadah ke arahnya. "Beliau meninggalkan keluarga kecil kami, bagaimana bisa ia mengucapkan hal itu?"

Jawaban itu bukan harapannya. Bukan asa yang dipupuknya sebelum kembali menemui puteranya. Satu dari kedua puteranya. Yang begitu mengingatkannya pada sikap Nora. Wanita itu bahkan menepis kata gentar tiap kali bertukar kata dengannya. Tiap kali jemarinya digamit dengan milik Collins. Setiap benang merah yang dijalin dengan Nora, menyisakan kenangan permanen. Tanpa penghapusan meski sekecil apapun.

Lalu ada dengus halus yang ia ciptakan. Dewa kematian itu bahkan mengulurkan tangannya. Menepuk puncak kepala seorang puteranya. "Karena ia sendiri. Ia terpuruk." Raut wajah itu kembali memudar. Bayangannya bahkan kini terlihat samar perlahan. Anak kecil di hadapannya menatap jemari sang pria, meraih dalam genggaman mungilnya sembari tersenyum meski wajahnya pias. "Kalau begitu bilang padanya untuk kembali muncul dalam kehidupan Nora."

Jeda itu kemudian begitu lama. Guratan di wajah sang dewa bahkan berbayang. Seolah pertemuan ini seperti hologram. Gelengan lemah sesudahnya. Mengisyaratkan dua suku kata sebagai penolakan. "Tidak bisa."

"Kenapa?"

"....." Jawaban itu yang hanya bisa ia berikan. Tidak lebih. Penjabaran mengenai siapa ia dan hubungannya dengan Kurt tidak akan membantunya untuk menjadi lebih baik. Justru buruk karena indikasi pada kedua puteranya. "Pak?"

"Pun kau bersikap berbeda seperti anak kecil kebanyakan, ada kalanya kau harus tahu batasan. Kurt, nak, kau tidak akan paham mengenai dunianya dan duniamu sendiri. Aturan demi aturan yang mengekang serta kebencian yang ditujukan hanya padanya tidak akan rela ia bagi pada siapapun. Terlebih Nora." Secara tersirat namun tegas ia melarang Kurt untuk bertanya lebih jauh lagi. Untuk segera menutup pita suaranya berseru lebih.

"Bukankah itu guna keluarga?" Bukanlah sebuah jawaban yang ia duga. Ada bening di sudut matanya. Sebuah titik melankolis yang kali pertama ia teteskan. Karena pengucapan kata keluarga dari bibir puteranya yang notabene sudah nyaris satu dekade tak ia temui. Dari bibir puteranya dan wanita yang begitu ia cintai. Tangan-tangannya meraih puncak kepala Kurt. Kemudian membenamkannya dalam pelukan sederhana. "Kau tak mau menemuinya, Kurt?"

"Aku memilih melindungi Nora bersama Basil. Menggantikan ketidak bertanggung jawabannya."

Kali ini sebuah keputusasaan. Ia tak bisa memaksa lebih jauh lagi pada anak lelaki di hadapannya. Ia tidak akan tega membiarkan Nora merana lebih jauh lagi. Sang dewa kemudian melepaskan pelukannya. Merogoh saku dari tuniknya, mengeluarkan rantai kalung berwarna baja. Kemudian mencabut satu sayapnya dengan erangan sebelum dengan sihir dewa ia ubah menjadi sebuah kalung. Meletakannya di telapak tangan puteranya. "Aku akan merindukanmu, Kurt. Sampaikan salam rinduku pada Nora."

Kurt menatap kalung itu. Menengadah sekali lagi dan memakainya. Menyimpannya dengan baik di balik kaus hitamnya. Dengan sebuah senyum terakhir seolah mereka melakukan perjanjian dan ia sudah cukup puas karenanya. "Akan kusampaikan, pak."

Anak kecil itu berbalik. Menyimpan isaknya sendiri sebelum bisa ia dengar suara itu bergaung dalam kegelapan. "Dan Kurt." Diam yang kembali merajai. Meminta keduanya untuk saling berbalik. Saling membuka suara bahwa ada keperluan mendesak lainnya yang ingin mereka utarakan. "Terima kasih untuk segalanya."

Tangis itu pecah dari anak lelakinya. Suaranya bergetar. Terdengar pilu. "Kembali untukmu." Akhir dari sebuah kisah dalam bunga tidurnya. Yang tanpa ia sadari, kemungkinan bertemu pria tersebut hampir sama dengan mustahil.



.

.

.



Winter, 2000. 7 AM

Kurt mencoba membuka matanya lebih lebar. Pemuda itu sedang tidak berniat untuk bergegas bangun dan menjumpai Nora di dapur. Ada wangi harum roti bakar seperti biasanya. Lalu tercium aroma kopi hitam. Sebenarnya wanita itu sudah melarang kedua putra kembarnya untuk mengonsumsi kopi seperti dewasa kebanyakan. Sayangnya begitu dicekoki minuman untuk usia yang pantas bagi Kurt dan Basil, pemuda itu langsung mengambil langkah untuk tak pernah menerima tawaran ke arah sana lagi lantaran seharian penuh ia harus berkutat di toilet. Air mineral masih bisa ia terima. Tetapi glukosa berlebihan dan aroma buah, Kurt akan pikir dua kali.

November, 2nd. And it's Thursday.


Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding ulang tahun yang dibarengi dengan peringatan untuk orang mati di Meksiko. Mungkin perlu diselipkan sindiran lainnya karena hari dimana harusnya dua pemuda cilik berbahagia untuk bertambahanya umur mereka, belahan dunia lain justru merayakannya dengan duka. Bukannya ia akan memberikan protes pada Nora karena melahirkan mereka pada tanggal itu—lelucon macam apa juga yang terlintas di benak Kurt karena melontarkan protes semacam itu—tetapi suasana mencekam jadi seolah tidak bisa menjauh dari kehidupan dua blasteran ini.

"Wake up, you sleepyhead." Bantal yang dijadikan tumpuan ditekankan di wajah kembarannya. Kepergian pak Jev membuatnya jauh lebih hati-hati dalam bertindak. Menekankan di kepalanya bahwa segala tindak gegabah memungkinkan keluarganya dalam masalah besar. Tidak hanya Nora, tetapi juga Basil. Mungkin ini akan terdengar sangat melankolis—tapi berani saja satu dari makhluk biadab itu menyentuh kembarannya, Kurt bisa bertindak berlipat kali lebih sadis dan kejam. Masa bodoh dengan kemungkinan luka dan kehilangan nyawa.

"Boys, almost late for school." Nora dengan suara yang hampir dirindukan oleh Kurt selama hari-harinya di perkemahan. Perkemahan dengan euforia kegiatan tidak membuatnya nyaman sekali. Pemuda itu memilih menarik diri dari keramaian. Hanya satu yang diingat oleh kepalanya, anak perempuan aneh yang mengajaknya tanding menaiki dinding panjat. Berakhir dengan tidak menarik.

Obsidiannya melirik ke kembarannya yang nampaknya masih pulas bergelung dengan bunga tidur. Mendengus pelan, tangannya di arahkan ke kepala kembarannya dan memberikan salam selamat pagi dengan tamparan. Mungkin ini kebiasaan satu dari keduanya jika salah satu dari mereka tidak segera beranjak dari peraduan mereka. "Bangun dan ucapkan selamat ulang tahun untuk kita, tukang tidur." Ini ulang tahun ke sebelasnya. Dan pria itu tidak pernah sekalipun muncul lagi dalam bunga tidurnya. Jika akhir yang bahagia memang ada, seharusnya ia masih bisa menatap gurat wajah sang dewa. Bukan begitu?

FIN



comment? / top


title: "I can't even dare to even hope I missing you."
date: Monday, May 14, 2012
time:9:44 p.m.

Title: "I can't even dare to even hope I missing you."
Rating/genre: General/Angst. Oneshot :"|b
Disclaimer: Universe milik om Rick Riordan. Bukan! Milik saya! Beckendorf milik saya! Karena Beckendorf milik saya, akan saya buat bromance sebanyak mungkin antara Beckendorf dan Percy! HAHAHA. Bercanda #krik. IndoOIympians milik para staff. Eleni Covenant milik PMnya, Reyna Trinesh milik PMnya, dan Summer Cooper milik saya. Beberapa karakter yang mungkin saya sebut namanya milik masing-masing PM (sudah mendapatkan izin, alhamdulillah). Saya tidak menghasilkan uang melalui ff ini hanya menghasilkan gosip tidak jelas, tolong jangan amuk saya :"| #dibuang. 
A/N: Ini efek karena udah terlalu lama ga ngetik ff. Terus efek masih fangirlingan mini album dari salah satu grup. Judul lagu juga credit ke Woolim Ent & INFINITE. Seorang authoress gagal total sehingga sangat menerima review dan saran maaf, saya nggak terima kritik ataupun flame, ya :| #plakabis.


-------------------



---------------


"Where am I, sire?"

"...."

"Am I... dead?"

"It's okay, dear. It's okay."


Ia berada di kerumunan orang berbaju abu dengan kulit pucat. Summer menahan diri untuk tidak berbalik dan mendapati bahwa dia memang sudah meninggal. Tungkainya bergetar ketakutan menghadapi fakta yang sering diucapkan sahabat sekaligus satir penjaganya. Umur blasteran tidak pernah panjang. Kemungkinan mereka untuk menikmati masa remaja saja tipis sekali. Gadis cilik itu sudah berkali-kali menerapkan kalimat penenang agar ia tidak takut jika hari ini datang. Jika hari dimana benang kehidupannya terputus dan nafasnya terhenti begitu semua itu berlalu. Kematiannya.

Matanya berat. Masih ada bulir air mata yang tersisa di sudut matanya. Summer Duerre Cooper meninggalkan dunia fana selamanya tanpa harus tumbuh lebih jauh. Tanpa mengucapkan selamat tinggal pada perkemahan ataupun paman sekaligus ayah angkatnya. Senyumnya pudar seketika mendapati bahwa semua yang ada di sekitarnya sudah tidak bernyawa. Mereka mati. Kehidupan mereka berakhir. Tidak beda jauh dengan anak perempuan yang beberapa jam lalu masih sibuk dengan pasta dan beberapa makanan lainnya alih-alih mengusir rasa bosan karena ayahnya tidak ada di sisinya untuk ke sekian kali.

Bahkan satirnya pun tak memberikan kejutan apa-apa. Mungkin ini imbas dari beberapa hal yang menimpanya di perkemahan tahun lalu. Makhluk baik dan segala tindak tanduk mereka. Yang bahkan dewa maupun dewi, baik Olympia maupun minor, tidak akan bisa langsung turun tangan jika melihat salah satu anak blasteran mereka diusik mereka. Tidak akan bisa langsung turun tangan atau justru enggan? Selalu ada kelebat pertanyaan mengganggu di benak Summer. Jika sebegitu tidak diinginkannya mereka, para blasteran, lantas mengapa mereka, para sosok abadi, tidak membatasi diri berhubungan atau menciptakan kontak langsung dengan para mortal? Atau sesungguhnya blasteran diciptakan untuk dipermainkan? Dimanfaatkan?

Ia ingin berlari. Mungkin lebih baik lagi jika pria dengan jas tua di depannya berteriak bahwa ini hanya tipuan satu April. Tapi ide itu langsung ditepisnya begitu mengingat bahwa tanggal satu April masih sangat jauh di depan mata.

Jemarinya meraba pakaian terakhir yang dikenakannya. Masih sama. Hanya tambahan beberapa bercak merah kering di dada kirinya. Entah miliknya atau blasteran lain yang juga bersama—kemudian pergerakannya berhenti total. Jantungnya tadi tidak pada tempatnya. Hilang. Namun bekas robekan itu tertutup rapi. Apa organ satu itu seharusnya berdenyut disana? Apakah masih ada disana? Atau justru sudah hilang dan dilumat oleh makhluk baik yang dengan seringai kemenangannya membawanya jauh dari atas tanah dan mencabutnya tanpa permisi?

Sunyi dan kelam. Kedua iris biru cerahnya mencari sosok yang awalnya ada bersamanya. Tentu bukan makhluk baik yang dengan murah hati mengantarkan Summer ke tempat ini. Mungkinkah blasteran itu selamat? Atau justru masih berjuang? Berjuang agar ia bisa kembali ke perkemahan. Atau takdir mempermainkan blasteran yang dimaksud Summer—menghalau jalan untuk berada disini.

Bahunya merosot jatuh. Tangisnya masih diredam dengan kedua tangannya. Sahabat sekaligus saudarinya. Ellen—apakah gadis itu tahu bahwa Summer kini sudah berada disini? Menunggu panggilan untuk kehidupan selanjutnya. Atau justru dia akan mendekam disini hingga ratusan tahun ke depan. Summer kehilangan semua begitu ia ingat tahun lalu memilih untuk mundur dan memberikan Ellen ruang dengan keluarganya. Sahabatnya itu selalu menginginkan keluarga lengkap dan utuh. Ayah tiri sahabatnya tidak begitu menyenangkan jika dibandingkan dengan dewa Hermes, tentu. Dan karena itu Summer pada beberapa waktu memberikan ruang.

Kini, rencana untuk menghabiskan liburan sebelum kembali perkemahan bersama Ellen pupus sudah. Rencana untuk menginap di rumah sahabatnya itu, bertemu langsung dengan wanita yang mengandung dan mengasuh sahabatnya; merasakan bagaimana rasanya memiliki keluarga utuh bagi Summer rasanya mustahil. Bahkan makhluk baik pun tahu. Mereka menggagalkan hal yang sudah dirancang si kecil tadi sejak jauh hari. Dengan hasil sukses besar.

Penyesalan selalu datang terlambat. Seharusnya ia mengirimkan pesan Iris dan mempercepat rencananya. Menyampaikan hal tentang acara inap itu kepada sahabatnya—sahabat satu-satunya. Dan mungkin justru kawan satu-satunya yang mau berada di sisi Summer. Pelengkap untuk puteri tunggal Hallena.

Tidak ada lagi senyum yang bisa tertangkap kedua retinanya dari puteri Covenant. Tidak ada lagi celoteh riang Ellen yang ditangkap oleh indera dengarnya. Tidak ada lagi tangan yang bisa ia gamit saat ia merasa takut atau resah. Summer sendiri. Sama seperti sebelum ia masuk ke perkemahan dan resmi tahu bahwa ayah kandungnya adalah dewa. Yang sebelumnya bahkan ia tak tahu siapa. Dan untuk memikirkan sosok itu pun Summer tak berani. Gadis kecil Cooper takut akan erangan protes mengenai luka yang dilihatnya di perkemahan, semua yang menimpa para blasteran, dan tangisnya pasti akan pecah seketika jika mengetahui siapa beliau. Sosok abadi yang tega meninggalkan ibunya, yang tega meninggalkan Summer dalam buaian; ternyata adalah sang dewa pejalan. Menjelaskan bahwa Summer dan Covenant cilik memang satu darah. Dadanya semakin sesak.

Dan momen kabur mendadak muncul di pikirannya. Makhluk baik. Salah satu blasteran bersamanya. Salah satu penghuni kabin Dua Belas. Lalu seperti yang dialami kebanyakan blasteran, Summer berusaha melawan dan membantu. Dan seperti kebanyakan akhir yang didapatnya, hal itu justru memacu yang lebih buruk. Seketika otaknya memberikan respon bodoh mengenai raga si kecil itu. Apakah blasteran juga dikuburkan dengan layak? Atau jasad mereka dikoyak dan disantap tanpa hati nurani oleh mereka—makhluk baik?

Aku merindukanmu, Ellen.

Mendadak ia teringat pada tiga kata yang selalu disusun oleh otaknya. Kalimat itu tertahan di tenggorokannya sejak lama. Pita suaranya enggan bekerja untuk menyuarakan hal tersebut. Pijar api kehidupannya sudah hilang. Dia tidak bisa melangkahkan kaki keluar dari tempat ini. Hanya bisa menunggu. Menunggu kapan ia akan mendapatkan gilirannya. Mendapatkan secercah harapan untuk kembali bernapas normal. Mungkin sebagai manusia fana. Ia bisa menerima itu. Atau kembali menjadi seorang blasteran. Sama sekali bukan soal besar lagi—seharusnya begitu. Bukan soal besar lagi. Summer bisa memperbaiki kekurangannya; berlatih lebih keras dan memaksakan diri. Itu pun kalau diberikan kesempatan untuk hidup kembali.

Ia menarik napas panjang. Berusaha mengumpulkan aura positifnya sendiri. Ia tidak bisa menyalahkan siapa pun karena kini ia berada disini atas dirinya sendiri. Bukan siapa pun—yah, mungkin beberapa makhluk baik boleh disalahkan.

Perkemahan. Berapa lama ia tak akan tahu mengenai kabar para pekemah? Omong-omong, sudah berapa lama ia kini disini? Atau akan seberapa lama ia disini? Memori di kepalanya memunculkan memori di tahun ketiga. Apakah kak Iolite masih sama?—surai pirang platina dengan iris biru terang yang memberikan kesan galak namun pada kenyataannya penilaian sepihak Summer pupus begitu peristiwa tahun ketiganya dengan Phyton. Apakah masih kepala babi yang akan menjadi penyambut kabin lima?

Benaknya melayang ke suasana perkemahan. Kabin satu milik dewa Agung. Jelas kosong dan tidak ada penghuninya. Sumpah itu tidak mungkin dilanggar, bukan? Atau dewa bisa juga bisa bersikap licik? Sekalipun sang raja dari para dewa? Rasanya mustahil. Lalu kabin dua, Hera. Si kecil Cooper yang mengagungkan sosok seorang ibu, beberapa tahun lalu sempat mengidolakan sang dewi. Hanya sayangnya begitu kabar burung para satir tersebar soal penculikan putri dewa anggur, ia mencoret nama sang dewi dari daftar teratas. Kabin tiga, Poseidon. Dia tidak begitu menarik minat pada beliau. Kabin empat, Demeter. Halo kak Lix—hanya anak laki-laki itu yang ia tahu dengan jelas namanya. Kabin paling asri dengan sosok ibu yang tentu perhatian. Kabin lima, sudah disebutkan. Kabin enam—kak Clifford dan Isabella, salah satu dari Salisbury bersaudara. Athena dengan keturunannya yang brilian. Ada rasa bersalah menyergap Summer karena tawaran buah kalengnya kini hanya jadi satu bentuk ingkar janji. Kabin tujuh—cahaya maniknya redup sesaat. Cahaya matahari. Musim panas. Summer merindukan terik matahari di atas kepalanya. Bau angin musim panas. Kesemuaannya.

Kabin delapan, milik dewi Artemis. Perawan dan tidak akan ada penghuni untuk kabin itu kecuali para pemburu berada di perkemahan. Yang belum pernah Summer lihat dengan maniknya sendiri mereka masuk ke batas perkemahan dan mengangkat tangan alih-alih mengucapkan salam pada para pekemah—tidak mungkin melakukan itu pada Chiron atau bapak Dionysus, bukan? Berlanjut pada kabin sembilan, dewa penempaan. Sebut saja, dia selalu melewatkan kelas ini lantaran kebodohannya sendiri. Dia tidak kenal siapa-siapa, seingatnya begitu. Atau mungkin ia pernah tanpa sengaja mengobrol tanpa sebut nama dengan seseorang. Memorinya payah. Lalu kabin sepuluh. Summer berusaha mengingat kabin milik siapakah yang baru ia pikirkan. Jemarinya mulai melakukan hitungan sembari mulutnya bergerak menyebut nama sosok abadi di Olympus. Aphrodite, sang dewi cinta. Tidak kenal siapapun sepertinya. Mungkin ada satu dua, namun sama seperti kabin sembilan. Ia tidak ingat.

Kabin sebelas. Lidahnya kelu, pikirannya menderita lagi begitu melayang pada beberapa rutinitas di kabin Hermes. Terlalu banyak kenangan di kabin ini. Kak Skylar—yang wajahnya selalu lalu lalang di kabin ini lantaran menjadi konselor. Lalu ada beberapa pekemah lainnya. Frauke, anak kecil bersurai pirang yang pernah membantunya mengemasi barangnya; yang lalu membuatnya heran, mengapa Summer bisa ingat nama gadis cilik ini? Mungkin karena kebaikannya. Lalu ada Michael, Carina, Harold, dan tentu saja, Eleni Covenant. Kembali sisi negatif menyerangnya. Membuatnya terdiam beberapa saat. Sedang apa Covenant muda itu? Apakah ia masih tertawa hingga detik ini? Apakah ia masih ingat bagaimana rasanya saat menghabiskan waktu bersama Summer? Oh, drama dan hiperbolanya. Si kecil itu sedang diliputi aura semacam itu.



.


.



.


I don’t have anything I can give you, missing you.
I can’t even tell you heartwarming words, but I missing you.
I can’t dare to even hope, but I missing you.
So I push you away like this



.


.



.



Kepalanya digerakkan perlahan. Berusaha menepis pemikiran-pemikiran yang mungkin muncul beribu kali jika ia tak buru-buru menghilangkan perasaan yang memberatkan udara. Mereka aman disana. Mereka aman di perkemahan. Tentu dewa Hermes tak akan membiarkan banyak masalah menimpa pada putera dan puterinya. Lalu kabin terakhir. Kabin Dua Belas. Seolah ada yang menendang telak di bagian ulu hatinya. Ia tentu tidak akan mendapatkan maaf dari dewa Dionysus seandainya ia masih hidup. Mungkin akan ada kutukan terburuk yang akan menimpa Summer seandainya ia berhasil selamat sedangkan anak perempuan beliau tidak. Kini entah ia harus bersyukur atau tersenyum miris menghadapi fakta itu. Atau justru menangis lantaran puteri sang dewa anggur belum berada disini bersamanya. Kemungkinan selamat masih bisa diraih jika Summer tidak ingat seperti apa makhluk baik yang menyergap sang dara.

Hydra bukanlah tipe makhluk baik yang doyan tawar menawar dengan kepala tukar kepala. Kalau pun makhluk satu itu punya prinsip kepala tukar kepala, akan ada kepala lainnya yang siap melahap sang blasteran. Bahunya merosot jatuh. Reyna Trinesh belum dikenalnya dengan baik selama di perkemahan. Saat ia bertatap muka pun hanya akhir musim panas tahun lalu. Di dekat api unggun dengan sedikit masalah kecil. Bagaimana sang dara Trinesh itu?

Cooper kecil menelan salivanya sendiri. Menatap antrean di dekat meja milik penjaga. Musik yang mengalun tidak membuatnya merasa baikan. Antrean itu begitu penuh. Begitu sempit kemungkinan bahwa Summer akan maju lebih cepat. Begitu sempit kemungkinan Summer untuk mulai diadili. Menghirup udara bawah tanah, seandainya bisa ia lakukan, mungkin akan membuatnya lebih depresi daripada saat ini. Kakinya kemudian bergerak menuju salah satu dari barisan sosok abu terdekatnya.


"Apa selalu selama ini?"

"Apanya?"

"Antreannya?"

"Biasanya, sih. Tergantung Charon mau berapa lama."

"Chiron?"

"Charon, bocah. Bukan Chiron."

"Oh. Maaf."

"Kau blasteran, ya? Mati karena apa? Kebanyakan makan ambrosia?"

"Ya dan bukan."


Berbalik dan meninggalkan sosok abu yang masih merepetkan pertanyaan padanya. Dada Summer dibuat seolah menghela napas pelan. Rutinitas itu sudah berhenti. Bernapas. Udara. Oksigen. Ia rindu itu semua. Bahkan menggapai gurat-gurat jingga di langit sore yang bahkan tak mungkin ia gapai. Berkas itu juga untuk beberapa waktu ke depan tak mungkin ia nikmati. Cahaya. Ayah angkatnya. Satirnya. Dan kabin ayahnya. Halo papa, sedang apa di Olympus? Sudah dengar kabar terbaru di bawah tanah?

"Cooper?" Serta merta panggilan itu membuatnya menengok. Bibir bawahnya digigit kuat-kuat mendapati bahwa blasteran yang dilihatnya petang tadi ada disini. Bergabung bersamanya. Rasa lega, takut, bersalah, dan marah menyergapnya secara bersamaan. Salah satu blasteran dari kabin dua belas menyapanya dan kemudian tersenyum tipis. Wajahnya terlihat tidak berbeda jauh dari yang ia ingat. Hanya bercak darah di beberapa titik mewarnai penampilan anak perempuan Dionysus itu.

Kaki Summer mengikuti perintah kerja otaknya. Berjalan, bahkan kini berlari menggapai gadis Trinesh. Memeluknya. Menautkan jemarinya satu sama lain, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa baik si kecil itu ataupun Reyna tidak sendiri. Tangisnya pecah seketika. Meski sudah berusaha menenangkan diri seperti ini, tetapi ia tidak bisa merasakan hangat atau bau tubuh seseorang yang membuatnya nyaman dan tenang. Tepukan pelan di kepalanya membuatnya hanya tersenyum pahit. "Sudah, Cooper. Aku juga takut kok."

Mendongak dan menghapus tetesan hangat itu dari pipinya. Kepalanya mengangguk pelan alih-alih menyatakan perasaannya dan pasrah saja. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Menyuap pria yang katanya bernama Charon? Dengan apa? Dia tidak punya apa-apa. Bahkan giliran untuk pendaftaran kehidupan selanjutnya saja ia harus ada dalam barisan akhir. Mendahulukan mereka yang sudah ada terlebih dahulu. Binernya memandang sosok jangkung di sampingnya. Berbisik kecil sembari menggamit jemari gadis itu. "Cooper? Kau nggak apa-apa?" Pertanyaan itu termasuk jenis perhatian singkat untuk keadaan saat ini. Summer cukup membutuhkan itu meski bisa ia asumsikan bahwa ia sendiri tidak dalam kondisi baik untuk menerima jenis tanda tanya itu. Gelengan cepat adalah respon terbaiknya. Tidak apa-apa dan semua baik-baik saja; itu yang berusaha ia tanamkan kini. Lalu yang ia terima selanjutnya sebuah tepukan dan pelukan penenang sekali lagi. Terlalu banyak pengulangan, ya, Summer sendiri tahu itu. Pada akhirnya tangannya menarik tangan itu, menariknya untuk turut berdiam di satu barisan. Bisikan yang kemudian dilontarkan Reyna Trinesh membuatnya geli sendiri. "Aku disini, Cooper. Kau juga disini bersamaku, kan? Santai saja. Pasti tidak lama—kalau si Charon itu ingat juga ada blasteran menganggur disini." Tidak lama. Ya, tidak akan lama. Tapi sayang, waktu berhenti baginya. Jadi tidak lama itu bisa berarti selamanya untuk Summer Cooper, seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Salah seorang penghuni tetap kabin sebelas dengan surai hitam dan manik biru cerah yang menderita disleksia dan Gangguan Pemusatan Perhatian-Hiperaktivitas sejak lahir. Bernasib tidak jauh beda dengan blasteran kebanyakan; dengan kemampuan minim dan hampir tidak bisa diandalkan.

Jadi kini: halo dunia bawah tanah? Oh, halo dewa kematian.


Labels: , , , ,



comment? / top


title: Begitulah // Oneshot // T
date: Wednesday, October 20, 2010
time:1:35 a.m.
Begitulah // Oneshot // T
Genre: Shounen Ai
Setting: Tahun ketiga Albus Potter, Rose Weasley, dan Scorpius Malfoy
Disclaimer: All character adalah milik bunda Jo.
PS: Don't like? Don't read. Thanks :)


Pemuda berambut pirang itu menarik kursinya. Sekali lagi kursi di sampingnya kosong. Ia menghela napas panjang. Sudah tiga hari ini Albus demam tinggi. Madam Pomfrey bilang bahwa Albus mungkin hanya terserang flu biasa dan homesick. Memang sebelumnya Al selalu mengeluh pada Scorp, pemuda pirang itu bahwa ia sangat merindukan ibunya.
"Dasar anak mami," gerutu Scorpius saat ia mengingat kata-kata Madam Pomfrey. Akhir-akhir ini ia sering kesal karena mengikuti semua kelas tanpa Al. Rasa lapar yang tadi menghampirinya mendadak hilang sehingga ia menarik diri dari mejanya dan berjalan ke luar Aula Besar.
"Hai Scorp!," sapa Rose saat melihat Scorpius bersungut-sungut di lorong sendirian. Yang disapa berlalu begitu saja, seperti tak mendengar sapaan tadi.
"Oi!," teriak Rose sekali lagi sehingga murid satu lorong menatapnya. Rose menunduk malu dan berlari menghampiri pemuda berambut pirang itu dan menepuk pundaknya keras-keras.
"Demi celana Merlin! Rose! Kau mengejutkanku!," ucap Scorpius kesal. Ia memegangi pundaknya yang ditepuk Rose tadi.
"Kau tuli rupanya, Scorpie! Aku sudah memanggilmu sedari tadi, bodoh!"
Scorpius menutup telinganya dengan kedua tangannya dan berjalan mundur. "Kau tak perlu berteriak, kawan. Ada apa?" Pemuda itu masih memegangi telinganya dan menyeringai.
"Tidak ada apa-apa. Ada apa denganmu?"
Sekali lagi ia menghela napas panjang. "Aku merindukan Albus. Sudah tiga hari ini ia sakit. Madam Pomfrey tak mengijinkan siapapun untuk menengoknya."
Rose tertawa geli kemudian menepuk-nepuk pundak pemuda itu lagi.
"Dia mencarimu tadi ke Aula Besar, bodoh. Kemana saja kau? Kudengar ia meminta ijin untuk pulang sore ini -lagipula liburan Natal sudah dekat bukan? Sekalian pulang untuk berlibur sepertinya. Uncle Harry yang akan menjemput Al. James sempat menggerutu dan protes karena tidak diijinkan pulang bersama mereka." Scorpius terkesiap kemudian memegang pundak gadis itu.
"Sungguh?! Dimana ia sekarang?!"
"Aw! Kau tak perlu berteriak di depan mukaku!"
"Sorry. Dimana Al sekarang?," tanya Scorpius, tampak tak sabar. Gadis itu membetulkan jubahnya dan menunjuk ke arah kantor Kepala Sekolah.
"Kurasa uncle Harry sudah datang dan kini Al disana. Mereka mau ber-apparate pulang karena perapian di rumah uncle Harry sedang rusak." Setelah Rose menyelesaikan kalimatnya, Scorpius segera berlari menuju kantor Kepala Sekolah. Gadis tadi hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang satu itu. Scorpius adalah tipe orang yang pendiam, sedikit narsis, sarkastik, dan dipuja banyak gadis. Tak beda jauh dengan ayahnya, Draco Malfoy. Tapi jika sesuatu terjadi pada Albus, anak dari pamannya, ia bisa menjadi galak, tidak sabaran, dan selalu tampak khawatir. Kadang Al sampai protes karena jika bersamanya, Scorpius selalu cerewet dan jahil, melebihi kakaknya sendiri, James.
Sudah lima menit Scorpius berdiri di depan gargoyle sialan itu. Scorpius tak bisa masuk ke dalamnya karena tak pernah sekalipun ia berkunjung ke dalam kantor Kepala Sekolah mereka.
"Bagus sekali, aku lupa menanyakan kodenya ke Rose. Sial!," rutuk Scorpius saat melihat gargoyle-gargoyle itu menahannya di depan tangga menuju ruang Kepala Sekolah.
"Pasti ia sudah pulang. Ya sudahlah, aku kembali ke asrama saja," batin pemuda itu sedih. Tiga hari tak bertemu pemuda berambut berantakan itu saja membuatnya seperti ini, bagaimana jika lebih lama? Ia rasa ia akan kehilangan akal sehatnya jika tak bertemu Al lebih lama lagi. Untuk kesekian kalinya lagi ia menghela napas panjang. Langkahnya gontai saat menyusuri lorong menuju asramanya.
"Scorp! Darimana saja kau?! Al sedari tadi mencarimu!," ucap salah satu teman asramanya. Scorpius mendongak dan bertanya kemana Albus sekarang. Teman asramanya hanya menggeleng kemudian menyerahkan sebuah surat berwarna hitam ke pemuda itu.

Dear Scorpius,
Kau dimana sih? Aku mencarimu ke seluruh tempat tau! Aku pulang hari ini dengan ayahku dan mungkin akan kembali setelah liburan Natal. Demamku sudah turun -takut kau bertanya, jadi jangan cemaskan aku, oke? Saat aku kembali ke Hogwarts, aku pinjam catatanmu jadi rajin-rajinlah mencatat.

Sahabatmu,
Albus Severus Potter



Scorpius hanya menghela napas sekali lagi setelah membaca surat itu. Yang ada di pikirannya kini hanya satu, dia ingin bertemu dengan Albus, bukan yang lain.


&____&____&



Sudah tiga hari sejak Albus pulang bersama ayahnya. Scorpius menjadi pemurung dan sering sekali menghela napas. Kadang guru Herbologi mereka sampai kasihan jika melihat pemuda berambut pirang itu melamun menatap jendela laboratorium Herbologi.
"Ada apa denganmu, Malfoy?," tanya Neville saat mendapati Scorpius sekali lagi menghela napas menatap ke luar jendela. Scorpius gelagapan karena ternyata guru Herbologinya menyadari bahwa ia sedang tak menyimak materi darinya.
"Ah-er-uh tak ada apa-apa, Profesor. Saya hanya... sedikit merasa tak sehat," dalih Scorpius. Neville mengangguk mengerti kemudian menyuruh pemuda itu ke Hospital Wings menemui Madam Pomfrey.
Entah kenapa Scorpius merasa tanpa Albus, hidupnya menjadi kosong. Tak ada semangat sedikit pun untuk mengikuti semua pelajaran tanpa pemuda berambut berantakan itu di dekatnya.
"Kurasa kau hanya perlu beristirahat. Semalam di Hospital Wings sepertinya cukup," ucap Madam Pomfrey setelah mengecek keadaan Scorpius. Tapi karena tak fokus, ia tak mendengarkan ucapan matron Hogwarts tadi dengan seksama.
"Ya, er-maaf-apa yang anda katakan tadi, Madam,?," tanya pemuda itu. Madam Pomfrey tersenyum dan memberikan baju ganti untuk pemuda itu.
"Istirahatlah semalam di Hospital Wings. Aku ada di sana jika kau membutuhkanku," tutur Madam Pomfrey sembari menunjuk mejanya. Scorpius mengangguk perlahan kemudian menutup tirai di sekitar tempat tidurnya. Setelah berganti baju, ia hanya bisa merebahkan badannya dan membiarkan pikirannya melayang. Bayang wajah Albus tetap memenuhi pikirannya dan sesekali dia berteriak kecil jika bayang-bayang itu terlalu lama di benaknya. Jika sudah seperti itu, Madam Pomfrey segera mendekatinya dan bertanya, "Bagian mana yang sakit?" dan pemuda itu hanya menggeleng malu.
"Aku bisa gila jika tak bertemu Albus lebih dari ini. Aku harus segera bertemu Al!," batinnya. Tapi saat ia ingin bangkit dan berjalan menuju luar Hospital Wings, badannya terasa lemas. Kepalanya mendadak pusing dan berat. Matanya terasa panas dan badannya menggigil hebat. Scorpius berusaha memanggil Madam Pomfrey tapi bibirnya terasa kaku. Karena tak bisa melakukan apapun, ia terpaksa memejamkan matanya dan membiarkan dirinya tertidur.
Esoknya, bukannya semakin sembuh, keadaannya semakin memburuk. Mungkin ini semua karena ia sudah enam hari tak makan. Nafsu makannya hilang semenjak Al sakit.
"Kurasa, kau dan Potter mengidap penyakit yang sama. Akan kukirim surat untuk ayahmu agar ia menjemputmu nanti malam," ucap Madam Pomfrey. Scorpius kini hanya mengangguk patuh.
Setelah Draco datang, ia segera menggotong anaknya dan membawanya pulang. Saat di perjalanan pulang ia hanya menggerutu panjang dan menganggap Madam Pomfrey payah karena tak sanggup menyembuhkan anak semata wayangnya.
"Aku lelah, Dad. Bisakah Dad berhenti mengomel sebentar?"
"Oke, baiklah. Istirahatlah," ucap Draco saat melihat anaknya.
Malamnya, setelah berganti baju dan makan malam, Scorpius melihat kalender yang menempel di dinding kamarnya. Di dekatnya terpasang fotonya dan Albus yang sedang tertawa.
"Bagaimana kabarmu kawan?," lirihnya. Belum sempat ia memikirkan sahabatnya yang satu itu lagi, ada seseorang yang menjawab, "Aku baik-baik saja, bodoh! Dan kenapa kau sakit?! Merindukan aku, eh?"
Pemuda itu menoleh dan tampak tak percaya melihat Albus beserta ayahnya berdiri di depan pintu.
"Kurasa pemuda cilik kita sudah sehat dan segar begitu bertemu satu sama lain," ledek Harry kemudian melirik Draco yang bersungut-sungut karena kedatangan Harry yang tiba-tiba.
"Tak berubah eh? Santo Potter! Sudah lama kau tak kemari dengan Al. Mana Lily? Aku merindukan si cantik Lily."
"Di bawah bersama Ginny dan Astoria. Ia memaksa ikut pulang kemarin karena tak mau merasakan natal di Hogwarts. Ada apa denganmu musang? Kurasa Astoria tak keberatan jika kami kemari. Ia yang mengirim burung hantu pada kami."
Draco tersenyum kemudian memeluk Harry. "Tentu tidak, kawan! Selamat datang di Malfoy Manor." Pemandangan yang biasa dilihat jika mereka bertemu semenjak tahun lalu.
"Al! Merlin! Kau tak bilang mau kesini!," ucap Scorpius setengah berteriak kemudian memeluk sahabat dekatnya. Al hanya tertawa kemudian balas memeluk.
"Yah.... Kejutan yang manis bukan? Hahahaha."
"Ya ya ya. Terima kasih untuk pahlawan cilik kita," ucap Scorpius dan dibalas dengan gelak tawa dari Al.
"Sama-sama hahahaha. Bagaimana kabarmu? Masih sakit eh? Dasar bodoh! Merindukanku sampai sakit seperti ini? Parah sekali hahahaha," ledek Albus. Scorpius hanya tersenyum. Sudah lama tak ia dengar tawa khas pemuda itu sepertinya.
"Kau akan menginap?"
"Well-yeah, jika kau memaksa," ucap Albus sembari menyeringai dan diikuti dengan tepukan kecil di bahunya. Ia menoleh dan mendapati kedua orang tuanya di belakangnya.
"Kami akan mengantar pakaian gantimu besok pagi. Baik-baiklah dan jangan merepotkan Uncle Draco dan Auntie Astoria. Mengerti?," tanya Ginny, ibu dari Al.
"Ya, Mum." Albus mengangguk cepat kemudian melirik Scorpius. Rasanya senang sekali bertemu dengan pemuda berambut pirang itu.
"Hai Scorpie," sapa Lily dari belakang tubuh Harry. Ia tersenyum kecil menatap pemuda itu.
"Hai Lily. Aku tak tahu kau akan kesini juga. Kau juga menginap?," tanya Scorpius sembari mendekati gadis berambut jahe itu.
"Tidak. Aku lebih memilih di Godric Hollows saja bersama Mum dan Dad. Albus lebih menyayangimu daripada Mum dan Dad." Detik itu juga Scorpius merasa tersetrum listrik. Ia harap itu benar. Tetapi segera ia tutupi salah tingkahnya dengan tertawa.
"Kami pulang dulu nak. Titip Al ya," ucap Harry sembari menepuk pundak Scorpius.
"Tenang uncle Harry! Al aman disini!"
Harry mengangguk kemudian ber-apparate bersama istri dan anak bungsunya meninggalkan Malfoy Manor.
"Kau sudah makan Al?," tanya Scorpius. Pemuda berambut berantakan itu mengangguk. Setelah kepergian orang tuanya, ia memilih untuk diam dan terus tersenyum menatap pemuda berambut pirang yang sudah terlihat lebih ceria.
"Scorp, aku.... ingin mengaku sesuatu padamu. Tapi, setelah aku mengucapkan hal ini, apakah kita akan tetap bersahabat?"
Scorpius terdiam kemudian menatap Albus dan tersenyum. Dirasakan detak jantungnya berlarian saat matanya dan mata Albus bertemu.
"Tentu kawan. Ada apa?"
Albus diam kemudian memegang bahu pemuda berambut pirang itu. Telapak tangannya terasa dingin.
"Kau masih sakit Al?," tanya Scorpius cemas saat memegang tangan pemuda itu. Albus menggeleng perlahan. Ia menunduk sejenak kemudian mendorong pemuda itu ke dinding kamar.
"A... aku...." Belum sempat ia selesaikan kalimatnya, dirasakannya sensasi hangat di bibirnya. Setengah percaya, setengah tidak, bibirnya dan bibir Scorpius sedang bersentuhan satu sama lain. Lima menit mereka dalam posisi itu dan segera menjauh karena kebutuhan oksigen yang memaksa.
"Ma-ma-maaf kawan. A-a-aku...," ucap Scorpius terbata. Ia menatap Albus yang masih tampak kelelahan dan tak percaya sekaligus tolol.
"Kurasa aku sudah mendapat jawabannya," jawab Al. Scorpius melongo sesaat kemudian tersenyum.
"Sejak kapan?," tanyanya kemudian menatap hangat ke arah pemuda berambut berantakan itu.
"Kau?"
"Sejak kita bertemu pastinya."
"Sama denganku kawan," jawab Al kemudian menempelkan sesaat bibirnya dengan bibir pemuda berambut pirang itu. Setelah melepaskan diri satu sama lain dan berganti baju, mereka tidur dalam satu tempat tidur sembari menggenggam tangan masing-masing.
"Kita masih bersahabat?," tanya Al. Scorpius mengecup kening pemuda itu.
"Bodoh. Lebih dari itu, tentunya." Pemuda berambut berantakan itu tersenyum senang.
"Benarkah?" Ia menggenggam tangan Scorpius dengan penuh rasa sayang.
"Begitulah."
Kemudian mereka tertidur dengan lelap. Tanpa demam dan rasa cemas melanda satu sama lain.


&___&___&



"Hei Al. Ngomong-ngomong kau sakit karena apa?"
Albus tersenyum kemudian berbisik, "Karena aku memikirkan bagaimana cara untuk menyampaikan itu semua padamu." Scorpius hanya tersenyum mendengarnya.

Labels: , , ,



comment? / top


title: Assignment History of Magic
date: Sunday, September 12, 2010
time:6:23 a.m.
Darimana datangnya sihir?

SS1:
Sihir. Suatu hal yang melekat dalam diri seorang penyihir. Tidak ada yang tahu darimana datangnya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sihir itu ada. Sihir adalah suatu proses, suatu proses yang memerlukan suatu energi. Energi dari alam yang berkumpul dan membentuk suatu kekuatan yang masih menjadi suatu misteri. Dan menurut saya, sihir memang terbentuk dari kekuatan-kekuatan alam yang kemudian tersalurkan oleh orang-orang terpilih, yang lebih kita kenal sebagai penyihir. Penyihir kemudian menyalurkan energi alam itu melalui alat yang terbentuk pula dari alam, yakni tongkat dengan inti tongkat di dalamnya.

Labels:



comment? / top


title: Happy Birthday our BRANDFANY
date: Saturday, July 31, 2010
time:9:36 a.m.
Happy Birthday sweetheart,
all the best wishes for you




May each and every passing year bring you wisdom, peace and cheer :)


Labels: , ,



comment? / top


title: HAPPEE BIRTHDAY HJP & JKR
date:
time:7:57 a.m.





Happee Birthday Harry James Potter

Labels: , ,



comment? / top